Saturday, January 5, 2013

Chapter 4 Part 1 That Vision


Wajah Alice menegang.” Julius?”
Ini pertama kalinya ia berkomentar sejak aku tiba kemari,kecuali saat ia dimintai komentar oleh ayahnya.
Aku mengangkat alis.” Kenapa? Kawan lama?”
Alice menggeleng.” Nggak apa-apa. Cuma pernah mendengar namanya entah dimana.”
Alice mengalihkan pandangan,memberiku sebuah petunjuk, bohong.
“Sebenarnya,Lucas,”Joshua memandangku,serius sekali.” Kau meninggalkan Benedict di pekarangan sendirian lho. Terkapar begitu saja.”
Tiba-tiba jantungku serasa merosot.” Eh? A-apa?”
Wajah serius Joshua rileks sedikit.” Tenanglah. Aku tau kalau kau panik,kau takkan memperhatikan sekelilingmu lagi. Aku sudah mengirim orang untuk membereskan dan mengamankan rumahmu. Aku akan memberitahu Black soal ini nanti.”
Aku menunduk gugup. Astaga,Joshua ahli sekali membuat orang lain terkena serangan  jantung kronis.”Black?”
“Kau butuh istirahat,”Joshua memutuskan.” Kau nggak mungkin pulang,terlalu beresiko. Malam ini,kau dan adikmu,akan menginap di sini. Alice akan menunjukkan jalannya padamu dan membantumu beres-beres.”
“B-beres-beres?” tanyaku heran.
“Sudah kubilang,aku mengutus orang ku ke rumahmu kan?”
“Oh.”
Suara mobil menekan-nekan klakson terdengar dari luar rumah. Benar-benar berisik.  Joshua mengernyit lalu kemudian berkata,”Baik,sepertinya barang-barangmu sudah sampai.”
“Er...”gumamku kaku.” Terima kasih...eh...Sir Joshua.”
Joshua memandangku lalu memberiku tatapan jenakanya.” Nggak masalah,Rajawali! Aku yakin kau dapat menyelesaikan segala hal! Nggak usah dipikirin! Nah,kalian berdua,sana ke mobil ambil barang-barang Lucas!”

Aku tak pernah menyangka ada orang yang tahu letak-letak barangku di rumah,yang menurutku,agak aneh...dan mengerikan. Seseorang yang dikirim Joshua telah membereskan barangbarang kami dan mengemasnya dalam 2 koper besar.
Beberapa waktu yang lalu,aku lupa dimana kuletakkan skateboard biru tua ku,dan sekarang skateboard itu ada di mobil pick-up merah besar yang bermuatan 2 koper besar dan sejumlah barang lain yang tidak kuketahui dan mungkin juga bukan milikku.
“Apa itu?” tanyaku,menunjuk sejumlah barang-barang tak kukenal itu.
“Itu... barang-barang entah-apa punya ayah,”gumam Alice monoton.” Ambil saja barangmu.”
“Err...oke.”
Aku mengambil koper-koper besar yang kukenali adalah milikku---salah,milik keluarga--- dan Alice membantuku menurunkannya ke tanah. Asal kalian tahu saja,aku nggak ngerti kenapa koper itu bisa memiliki berat 1 ton.
Setelah selesai menurunkan 2 koper dan skateboard tuaku,aku dan Alice bersama-sama menyeret koper berat itu,masing-masing menyeret sebuah.
Alice menuntun ku naik tangga kayu spiral yang berputar-putar.” Lantai 3,”katanya.
Lantai 3. Bayangkan saja harus naik tangga putar yang memusingkan sampai lantai 3 dengan menyeret beban seberat 1 ton.
Setelah perjalanan yang terasa hamir tak ada ujungnya itu (maaf,aku terlalu putus asa soalnya,karena tinggi 1 lantai mungkin sekitar 6 meter) akhirnya Alice menuntunku ke sebuah kamar. Kami masuk. Kamar itu memiliki desain sederhana,dindingnya berwarna biru muda seperti langit dan sebuah jendela berkusen kayu bertengger di sisi kiri dinding,menghadap ke halaman rumah. Tak banyak barang dan perabotan disana,cuma ada sebuah meja kerja biasa dengan kursi bersandarnya,sebuah tempat tidur yang bisa ditiduri 1 orang saja,dan sebuah lemari pakaian kayu setinggi 1,5 meter.
“Adikmu,kuputuskan,akan sekamar denganku,”kata Alice sambil meletakkan koper yang dipegangnya ke lantai ubin.” Nah,sebaiknya kita bereskan barangmu dulu. Yang mana kopermu?”
Aku mengangkat bahu.” Yang mana sajalah. Mungkin yang itu.”
Aku menunujuk koper yang sedang dipegang Alice. Alice menatap koper itu sejenak,lalu menjentikkan jarinya. Terdengar suara click! kecil dan Alice menarik resleting koper itu hingga terbuka.
Aku takjub sejenak,yakin bahwa aku baru saja menyaksikan sihir betulan.” Bagaimana caranya---“
“Teknik kecil sederhana,”jawab Alice enteng,lalu melihat barang di dalam koper. Ia mengernyit.” Kelihatannya ini...”
“Punyaku,”kataku cepat. Aku tak bisa membiarkan cewek yang kukenal tak lebih dari 3 jam ini mengobrak-abrik barang pribadiku.” Kalau kau nggak keberatan,aku lebih senang jika aku sendiri yang menyusun barangku sendiri.”
Aku tak bermaksud untuk tidak sopan,tapi nada bicaraku terdengar lebih dingin dari yang kukehendaki.
Alice mengangkat alisnya,tampaknya agak tersinggung---bukan,aku kesulitan membaca ekspresi wajahnya.” Oke.”
Lalu dia pun keluar.
Aku menghempaskan diriku ke atas tempat tidur yang berseprai biru muda yang senada dengan cat biru dindingnya,menghela nafas panjang. Perlu waktu bagiku untuk memahami semua ini. Aku perlu tidur,tentu saja.
dan aku tertidur.



No comments:

Post a Comment