Monday, December 24, 2012

Chapter 1 George's Anger - Part 1

Aku suka permainan yang menguji keberanian,contohnya panjat tebing yang terjal,atau terjun bebas dengan parasut. Aku juga gemar bela diri,bahkan aku sudah dan-1,lalu aku juga lumayan suka surfing,dan masih banyak lagi.
Aku menjalani semua itu sejak usia 8 tahun,6 tahun dalam proses,dan kini sudah menjadi hobi yang ditanamkan oleh Ayahku.
Ups, Maaf. Aku terlalu semangat,nyaris lupa memperkenalkan diri.
Perkenalkan, namaku Lucas Kingston,putra kedua dalam keluarga Kingston yang kecil ini. George,putra pertama sekaligus kakak laki-lakiku,adalah seseorang yang sangat,yah—bisa dibilang,isi kepalanya hanya penuh dengan trik untuk membuat orang menjadi bahan tertawaan,seolah ia dilahirkan dengan misi untuk mengganggu dan menertawakan orang. Ia senang mengerjai Maggie,adik perempuanku yang terkecil. Sebut saja masalah ikan basi yang yang ada di dalam selimut wol merah kesayangan Maggie. Atau masalah kodok hidup di dalam tas tangannya. Maggie juga bukan tipe gadis yang mau diam-diam saja diperlakukan seperti itu (keluarga kami semua kebanyakan memiliki karakter pemberontak). Walaupun perbedaan tinggi George dan Maggie sekitar 20 senti,tapi Maggie bisa saja langsung menonjok hidung George hingga berdarah (ngomong-ngomong,Maggie rajin mengangkat dumbel).
Anehnya,mereka seperti jaga jarak denganku. Maggie yang memiliki mata biru gelap yang tajam itu biasanya selalu mendelik mengancam pada George,tapi kesadisan yang terpancar dari matanya langsung padam begitu sedang bicara padaku. George juga sama saja sebenarnya,yah,seperti yang tadi kukatakan,George dilahirkan dengan misi untuk menjahili orang---kadang terlihat ekspresi jahilnya ketika bicara denganku,seolah ia ingin mengerjaiku tapi kami tidak cukup akrab untuk saling menjahili. Kutebak sih begitu.
Karena sikap dingin dan kaku mereka itu,aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan ayahku (namanya Hayden Kingston,ia seorang arsitek yang suka melakukan hal-hal ekstrim yang tak biasa dilakukan orang). Ia memasukkanku ke les karate dan les renang 3 kali seminggu,tiap kali setelah pulang sekolah. Mengikuti aktivitas atletik seperti lompat tinggi,lompat jauh,dan lari,seminggu sekali,tepatnya tiap Sabtu di salah satu klub atletik dekat rumahku. Tiap hari Minggu,aku dan Ayahku selalu keluar bersama. Arung jeram,terjun parasut,menembak jitu,menyewa mobil balapuntuk balapan di lintasan,panjat tebing,mendaki gunung—semua itu dilakukan bergilir setiap minggu.
Mengenai ibuku,kata Ayah---Ibu pergi saat Maggie berusia 3 tahun. Aku mendesak Ayah untuk menceritakan lebih banyak,tapi ayah menolak untuk menjawab.
Nah,jadi itulah keluargaku. Kami tinggal berempat bersama pengasuh kami yang berusia 25 tahun,namanya...umm..kalau aku tak salah ingat sih Candy. Aku tak begitu akrab dengannya karena lebih sering bersama Ayah. Sebaliknya,Candy lebih akrab dengan George dan Maggie. Candy entah bagaimana mampu membuat George untuk tidak menjahilinya. Sering kudengar mereka bertiga tiap Minggu piknik bersama atau melakukan aktivitas lain di luar rumah sementara aku dan Ayahku melakukan aktivitas yang berbeda.
Kadang aku bingung kenapa Ayah tidaqk memasukkanku ke les yang menyangkut soal pelajaran sekolah,soalnya nilai pelajaran sekolahku bisa dibilang selalu di bawah rata-rata,kecuali mungkin pelajaran olahraga,aku selalu menjadi bintang kelas. Kalau diperhatikan,semua orangtua murid pasti sangat memperhatikan pelajaran anaknya. Maggie bahkan les piano,karena katanya ia ingin jadi pianis yang hebat dan berkarisma (muka George seperti monster yang terkena anemia ketika mendengarnya). Aku tidak paham mengapa musik digambarkan dalam bentuk balok dan tauge,tapi Maggie suka sekali.
Meski begitu,nilai pelajaran Maggie lumayan bagus.
Meskipun George terlihat seperti orang yang tampaknya tak punya keahlian lain selain menjahili orang,di luar dugaan ia adalah murid terbaik di kelasnya. Ia pernah menyabet medali perunggu untuk lomba fisika yang dilombakan se-Amerika. George sangat suka fisika,sehingga ia sangat piawai dalam memprediksi seberapa tepat ia dapat mengketapel orang dengan batu jika ia berdiri di sudut mana.
Karena tahun ini kami baru pindah ke sekolah yang lebih dekat sebab sekolah yang dulu sangat jauh dari rumah kami yang sekarang. Jadi,ditahun ketiga sekolah ini,kami pindah ke Hortenz School,dimana sekolah ini terkenal akan pelajaran dan olahraganya yang bagus (kasihan Maggie).
Nah,hari ini hari Minggu,dimana adalah hari terakhir liburan musim panasku dan besok tanggal 1 September  sekolah dimulai,sekaligus hari ini aku ada pelajaran menembak jitu dengan ayahku.
Aku berjalan menuju pekarangan. Disana sudah disediakan sasaran tembak berupa kaleng kecil diatas meja. Sekitar 15 meter di depan sasaran,2 pucuk pistol diletakkan pada sebuah meja kecil. Aku berjalan menghampiri meja itu sambil bergumam menyapa Ayah yang sedang berdiri menungguku.
Menembak adalah salah satu keahlian laki-laki yang diharuskan ayah untuk dikuasai (entah kenapa George dikecualikan dalam hal ini). Entah berapa jam kuhabiskan di pekarangan,lengan terulur sampai ototku sakit,selagi membidik sasaran tembak. Itu kejadian 6 tahun lalu,sekarang sih sudah biasa.
“Nah,”kata ayah berseri-seri.” Berhubung karena hari ini hari terakhir liburanmu,aku akan mengajarimu teknik baru.”
“ Ayah berharap aku menembak orang yang berani macam-macam denganku di sekolah?”candaku.” Teknik baru?”
“Bukan teknik basi menembak lurus yang biasa. Kau sudah menguasai teknik menembak langsung tanpa membidik,bagus itu,” kata Ayah,tampaknya agak tak sabar untuk memulai.” Hari ini kita akan belajar teknik membelokkan peluru.”
“ Membelokkan peluru?” tanyaku heran.” Memangnya bisa?”
Ayah memberiku senyum samar,seolah ia tahu hal yang tak kuketahui.” Kalau kau yang lakukan,pasti bisa.”
Aku baru mau tersenyum ketika kulihat George melintasi pekarangan,melirik kami,mencoba menerka situasi. Kemudian tatapannya berubah menjadi sinis,lalu ia masukke dalam rumah.
Apa-apaan sikapnya itu? Trik apalagi yang ia mainkan?
Ayah menimang kedua pistol.” Baiklah. Tolong panggil---siapa---umm.... pengasuh kita kemari sebentar,Luke.”
Aku masuk ke dalam rumah mencari Candy. Dia sedang berada di ruang tamu,menemani Maggie bermain piano sementara George sedang duduk dilantai menghadap meja utama di tengah ruang tamu,sedang menggambardi selembar kertas yang kelihatannhya mirip perangkap tikus.
“Candy,Ayah memanggilmu.”
Candy berbalik memandangku.” Katie,”katanya mengingatkan.” Kau selalu saja salah menyebut namaku.”
Ayah bahkan tak ingat namamu,pikirku. Tapi aku tak berusaha mengigatkan hal itu padanya.
Aku mengisyaratkan Katie untuk mengikutiku. Katie bangkit dan bergumam pada Maggie,mungkin ia bilang bahwa sebentar lagi ia kembali,lalu mengikutiku ke luar rumah.
“Kamu---uh...masih ingat bantal besar tua yang kusuruh kau simpan di---dimana?”tanya ayah.
Katie memasang raut muka agak jenuh.” Gudang.”
Ayah tampak lega.” Kupikir juga disana! Makasih,siapa---”
“Katie,”kataku membantu.
“Katie,”ayah setuju.
Katie mengangguk lalu pergi. Ayah pergi ke gudang,lalu kembali membawa sebuah bantal usang  yang tinggi dan besar.ayah menarik salah satu kursi santai dan meletakkannya disana,lalu menariknya sedemikian rupa hingga berada di depan sasaran tembak,kira-kira 15 meter darinya sejajar denganku.
“Nah!”kata Ayah semangat.” Lihat ya!”
Ayah mengisyaratkanku untuk menyingkir dan berdiri di samping. Aku menurut,lalu ayah menempati tempatku.
“ayah  mau menembak menembus bantal?”
Ayah tampak agak sebal.” Kau tidak menyimakku ya? Kubilang hari ini aku akan mengajarimu seni membelokkan peluru!”
Aku mengernyit.” Tapi tetap saja mustahil.”
Ayah mengangkat pistolnya.
“Ayah.”
Bahkan tanpa membidik,terlebih dahulu,ayah menembak.
Terdengar suara peluru mengenai sasaran.  Aku berbalik,terkejut,tidak percaya dengan apa yang kulihat.
Peluru tepat sasaran. Tanpa mengenai bantal.
“Bagaimana---“
“itulah yang akan kau pelajari,”katanya tenang.” Sini,berdiri di sini.”
Ayah menyingkir dan aku menempati tempat ayah.
“Ambil sudut yang tepat,pakai nalurimu.”
“Aku bahkan tak bisa melihat sasarannya!”
“Karena itu pakai nalurimu! Tergantung kau mau atau tidak saja.”
Aku berusaha memusatkan seluruh perhatian dan konsentrasiku pada pistol. Rasanya sia-sia saja,bahkan belum tentu aku bisa menembak dengan mata terpejam,apalagi membelokkan peluru. Memangnya aku Aeolus,raja angin?!
Dor. Peluru menembus bantal.
Aku menghela nafas.
“ayah yakin kau pasti bisa,”kata ayah menegarkanku.” Maaf,kau latihan duluan saja ya,ayah ada urusan janji ketemu dengan teman lama dulu.”
Ayah masuk ke dalam rumah.
Aku meletakkan pistol. Rasanya sia-sia. Mana mungkin! Aku tak tau ayah tadi bisa melakukannya,tapi jelas saja mustahil. Logikaku macet.
Kubereskan semuanya dan kembali ke rumah. Terdengar dentingan nada piano yang lembut. Maggie masih main piano.
Hari minggu yang membosankan,tapi sayangnya,Cuma siang ini saja.
                                                            
***

9 comments:

  1. Apa ada chapter lain?
    kok pelurunya bisa tembus?
    Kurasa nama yang tepat bukan 'membelokkan peluru" deh.
    cepat sambung ya, bujuk mamamu supaya dikasih sambung critanya
    seperti biasa, luke terlalu bodoh untuk menyadari tindakan ayahnya, tapi kok dia g dekat dgn george dan maggie?

    ReplyDelete
  2. Namanya Gperge anger, tapi mana bagian george marahnya?
    Apa dia marah krn Hayden terlalu dkt dgn luke?
    apa terlalu byk pertanyaan ya?

    ReplyDelete
  3. sabar dekk
    di part 2 baru marah
    lg ketik aku

    ReplyDelete
  4. emang membelokkan peluru
    papanya kan bs lakukan
    ada sihir2 dikit itu,si papanya buat luke bs lakukan to luke g bs

    ReplyDelete
  5. dia emang g dekat sm george maggie
    nta di part 2 brantam mreka
    si luke lgsg banting george ke jendela,retak lgsg

    ReplyDelete
    Replies
    1. kejam . . .
      di crita yang clu mereka dekat
      apa yang terjadi nanti?
      mereka masuk labirinkan?

      Delete
    2. disini keknya sama skali g ad labiri

      Delete