Besoknya,tak ada yang
menyinggung-nyinggung soal kacajendela,bahkan George sendiri juga tidak
mengatakan apa-apa soal itu.
Kecuali ayah,yang sudah terlihat duduk
di kursi makan saat sarapan pagi ini.
Kau tak tau seberapa leganya diriku.
“Kenapa dengan jendela
kamarmu,George?”tanya Ayah.” Pecahan kacanya bertebaran di pekarangan waktu aku
pulang.”
Selama sedetik yang mengerikan,kukira
George akan mengatakan yang sebenarnya. Tapi George bukan tipe anak yang suka
mengadu dan menjelek-jelekkan orang,walau dia usil banget (dasar,sok tau kau
Luke). Dia menggeleng.
“Wii,”dusta George.” Alat kontrol
wii-ku terlepas sewaktu aku main game,terlempar keluar dari jendela.”
Ayah mengangguk,tidak tampak
marah,entah karena percaya atau merasa bahwa itu bukan hal yang penting
sekarang,ia berkata,” Bus sekolah segera datang,ayo bersiap-siap.”
Aku menggigit roti bakar isi
coklatku,lalu bergegas mengambil tasku di sofa ruang tamu.
Suara tin-tin tak sabaran terdengar
dari luar rumah.
“Kami pergi.”
Aku bergegas ke ruang depanmemakai
sepatu dan keluar,naik ke bus sekolah kuning yang tertulis Hortenz School.
Bus tersebut nyaris penuh. Tempat duduk
paling belakang (tempat faoritkudi bus,biasanya) ditempati 4 orang besar yang tampaknya adalah penguasa
di sini,karena salah satu dari mereka yang berambut merah memukul kepala cowok
kerempeng berkacamata bulat kuno yang ada di depannya,dan cowok itu tampak
pasrah saja.
Supaya tidak kena masalah,kuputuskan
untuk tidak mengambil resiko di bangku belakang.
Ada sebuah tempat kosong di baris
ketiga dari depan,seorang cowo berambut hitam memasang headset besarnya yang
berwarna hitam metallic di kepalanya sedang duduk di kursi dalam,memandang
keluar jendela.
“Boleh aku duduk?”tanyaku sopan.
Cowok itu melepas headsetnya dan
menatapku dengan mata cokelat kelamnya yang cool dan terkesan misterius
sejenak,menilai. Lalu tanpa bilang apa-apa ia pun mengangguk.
“Makasih.”
Aku baru duduk ketika Maggie dan George
naik ke bus. Maggie mengambil tempat kosong di belakangku yang sebelahnya
diduduki seorang gadis berambut merah gelap. George,yang tampaknya tak punya
pilihan lain selain duduk di sebelah cowok kerempeng yang tadi dibully,satu-satu
tempat yang tersisa.
Bus berjalan.
Aku menoleh kaku ke cowok yang ada di
sebelahku. Rambutnya hitam dipangkas pendek dan segar. Matanya cokelat gelap
yang tajam,dan misterius. Ia mirip tipe cowok penyendiri yang diam-diam
memiliki banyak penggemar. Gaya pakaiannya juga oke,mengenakan T-shirt hitam
yang pas dengan tubuhnya dan celana jeans,membuatnya tampak tegap dan
gagah,ditambah headset besar berwarna hitam sebagai aksesoris pelengkap.
Cowok itu sadar aku sedang
memandangbya,jadi buru-buru aku langsung mengalihkan perhatianku ke bangku
kedua disebelahku.
Seorang gadis berambut pirang sedang
duduk disana dengan gaya anggun. Rambutnya yang berwarna keemasan itu di-roll indah dan
dihiasi pita merah besar di belakangnya. Matanya bulat besar berwarna hiaju
mempesona. Ia mirip putri raja protagonis yang berkarakter baik dan anggun.
Dan
gawatnya,ia memergokiku sedang memandangnya.
Dan yang membuatku terkejut setengah
mati,ia tersenyum padaku.
Aku menelan ludah. Bukan hal yang dapat
terjadi setiap hari jika ada seorang gadis cantik tersenyum padamu yang sama
sekali belum dikenalnya.
Aku membalas senyumannya dengan kaku.
Gadis itu kembali menekuni ipod nya.
Aku berusaha menjaga agar mulutku tetap terkatup rapat,bukannya ternganga
seperti orang kampungan. Tapi masalahnya mataku tak bisa lepas darinya.
“Terpesona padanya?”
Aku menoleh kaget. Cowok disebelahku
sedang memandangku.
“Mukamu merah,”dia mengingatkanku.
“M-maaf?”
“Mukamu merah,”ulangnya.
Aku merenggut.” Tak perlu kauingatkan.”
Ia mendengus pelan,lalu kembali
memandang keluar jendela.
“Namanya Elaine,”katanya tiba-tiba.”
Elaine Caine.”
Aku menatapnya.” Kau mengenalnya?”
“Aku kenal dia sejak lahir.”
“Oh,”gumamku. Sejak lahir. Nah,aku
harus kenalan dengan Elaine,kan? Kesempatan bagus.
Aku mengulurkan tangan padanya.” Lucas
Kingston.”
Ia memandangku. Lalu ia menjabat
tanganku.” Julius Leondre.”
Bagus. Selangah lebih maju untuk
berkenalan dengan Elaine.
“Aku murid baru tahun ketiga,”kataku.
“Aku juga,”jawab Julius singkat.
“Aku punya seorang kakak lelaki dan
seorang adik perempuan,”kataku lagi.” Adikku tepat di belakang kita. Kakakku
duduk di paling belakang.”
Karena
tak ada pilihan,pikirku.
“Aku datang bersamanya,”Julius
mengedikkan kepala ke arah Elaine.” Roger menyusul. Dia naik mobil.”
Ketika Julius melihatku
kebingungan,Julius menambahkan,”temanku yang lain.”
Aku merasa aku sudah terlalu
cerewet,jadi kuputuskan untuk tutup mulut,sampai bus tiba di sekolah.
No comments:
Post a Comment