Wednesday, December 26, 2012

Chapter 2 Hortenz School - Part 1


Besoknya,tak ada yang menyinggung-nyinggung soal kacajendela,bahkan George sendiri juga tidak mengatakan apa-apa soal itu.
Kecuali ayah,yang sudah terlihat duduk di kursi makan saat sarapan pagi ini.
Kau tak tau seberapa leganya diriku.
“Kenapa dengan jendela kamarmu,George?”tanya Ayah.” Pecahan kacanya bertebaran di pekarangan waktu aku pulang.”
Selama sedetik yang mengerikan,kukira George akan mengatakan yang sebenarnya. Tapi George bukan tipe anak yang suka mengadu dan menjelek-jelekkan orang,walau dia usil banget (dasar,sok tau kau Luke). Dia menggeleng.
“Wii,”dusta George.” Alat kontrol wii-ku terlepas sewaktu aku main game,terlempar keluar dari jendela.”
Ayah mengangguk,tidak tampak marah,entah karena percaya atau merasa bahwa itu bukan hal yang penting sekarang,ia berkata,” Bus sekolah segera datang,ayo bersiap-siap.”
Aku menggigit roti bakar isi coklatku,lalu bergegas mengambil tasku di sofa ruang tamu.
Suara tin-tin tak sabaran terdengar dari luar rumah.
“Kami pergi.”
Aku bergegas ke ruang depanmemakai sepatu dan keluar,naik ke bus sekolah kuning yang tertulis Hortenz School.
Bus tersebut nyaris penuh. Tempat duduk paling belakang (tempat faoritkudi bus,biasanya) ditempati  4 orang besar yang tampaknya adalah penguasa di sini,karena salah satu dari mereka yang berambut merah memukul kepala cowok kerempeng berkacamata bulat kuno yang ada di depannya,dan cowok itu tampak pasrah saja.
Supaya tidak kena masalah,kuputuskan untuk tidak mengambil resiko di bangku belakang.
Ada sebuah tempat kosong di baris ketiga dari depan,seorang cowo berambut hitam memasang headset besarnya yang berwarna hitam metallic di kepalanya sedang duduk di kursi dalam,memandang keluar jendela.
“Boleh aku duduk?”tanyaku sopan.
Cowok itu melepas headsetnya dan menatapku dengan mata cokelat kelamnya yang cool dan terkesan misterius sejenak,menilai. Lalu tanpa bilang apa-apa ia pun mengangguk.
“Makasih.”
Aku baru duduk ketika Maggie dan George naik ke bus. Maggie mengambil tempat kosong di belakangku yang sebelahnya diduduki seorang gadis berambut merah gelap. George,yang tampaknya tak punya pilihan lain selain duduk di sebelah cowok kerempeng yang tadi dibully,satu-satu tempat yang tersisa.
Bus berjalan.
Aku menoleh kaku ke cowok yang ada di sebelahku. Rambutnya hitam dipangkas pendek dan segar. Matanya cokelat gelap yang tajam,dan misterius. Ia mirip tipe cowok penyendiri yang diam-diam memiliki banyak penggemar. Gaya pakaiannya juga oke,mengenakan T-shirt hitam yang pas dengan tubuhnya dan celana jeans,membuatnya tampak tegap dan gagah,ditambah headset besar berwarna hitam sebagai aksesoris pelengkap.
Cowok itu sadar aku sedang memandangbya,jadi buru-buru aku langsung mengalihkan perhatianku ke bangku kedua disebelahku.
Seorang gadis berambut pirang sedang duduk disana dengan gaya anggun. Rambutnya yang  berwarna keemasan itu di-roll indah dan dihiasi pita merah besar di belakangnya. Matanya bulat besar berwarna hiaju mempesona. Ia mirip putri raja protagonis yang berkarakter baik dan anggun.
 Dan gawatnya,ia memergokiku sedang memandangnya.
Dan yang membuatku terkejut setengah mati,ia tersenyum padaku.
Aku menelan ludah. Bukan hal yang dapat terjadi setiap hari jika ada seorang gadis cantik tersenyum padamu yang sama sekali belum dikenalnya.
Aku membalas senyumannya dengan kaku. Gadis itu kembali menekuni ipod nya. Aku berusaha menjaga agar mulutku tetap terkatup rapat,bukannya ternganga seperti orang kampungan. Tapi masalahnya mataku tak bisa lepas darinya.
“Terpesona padanya?”
Aku menoleh kaget. Cowok disebelahku sedang memandangku.
“Mukamu merah,”dia mengingatkanku.
“M-maaf?”
“Mukamu merah,”ulangnya.
Aku merenggut.” Tak perlu kauingatkan.”
Ia mendengus pelan,lalu kembali memandang keluar jendela.
“Namanya Elaine,”katanya tiba-tiba.” Elaine Caine.”
Aku menatapnya.” Kau mengenalnya?”
“Aku kenal dia sejak lahir.”
“Oh,”gumamku. Sejak lahir. Nah,aku harus kenalan dengan Elaine,kan? Kesempatan bagus.
Aku mengulurkan tangan padanya.” Lucas Kingston.”
Ia memandangku. Lalu ia menjabat tanganku.” Julius Leondre.”
Bagus. Selangah lebih maju untuk berkenalan dengan Elaine.
“Aku murid baru tahun ketiga,”kataku.
“Aku juga,”jawab Julius singkat.
“Aku punya seorang kakak lelaki dan seorang adik perempuan,”kataku lagi.” Adikku tepat di belakang kita. Kakakku duduk di paling belakang.”
Karena tak ada pilihan,pikirku.
“Aku datang bersamanya,”Julius mengedikkan kepala ke arah Elaine.” Roger menyusul. Dia naik mobil.”
Ketika Julius melihatku kebingungan,Julius menambahkan,”temanku yang lain.”
Aku merasa aku sudah terlalu cerewet,jadi kuputuskan untuk tutup mulut,sampai bus tiba di sekolah.

No comments:

Post a Comment