Kami makan malam
tanpa Ayah.
Ayah tidak pulang-pulang sejak tadi
siang. Entah karena ngobrol kelamaan dan nostalgia,tapi setidaknya bisa kabarin
orang-orang rumah dulu kan?
Aku menghela nafas berat sambil
mengaduk-aduk supku dengan setengah hati.
“Kenapa Ayah masih belum pulang?”
tanyaku.
Suasana ruang makan hening dan tidak menyenangkan. Biasanya
Ayah tidak pernah tidak makan bersama kami,makanya sekarang aura makan malamnya
aneh dan kaku. Maggie menggulung spaghettinya dengan garpu. George mengunyah
makaroninya. Katie menyeruput es jeruknya. Tak ada yang bicara,dan aku tau
jelas bahwa akulah penyebab ketegangan ini.
“Kenapa Ayah masih belum pulang?”ulangku. Aku benci diabaikan orang.
George mengangkat kepalanya,ekspresinya
sulit dibaca. Biasanya ekspresinya selalu tak bisa kutebak,terutama pada waktu
ia mau mulai menjahili orang. Tapi sekarang tampaknya ia sedang tak ingin usil.
Ekspresinya tampak seperti...aku tak menyukainya.
“Ayo ikut aku,”katanya datar.
Aku tak suka nada bicaranya.
Georga berdiri dan meninggalkan
ruangan. Aku tak suka ide itu,tapi aku terpaksa mengekorinya keluar. George terus
berjalan,naik tangga,masuk ke kamarnya.
Mau apa dia?
Aku ikut masuk. Aku baru sadar bahwa
aku belum pernah masuk ke kamar George. Desainnya sederhana dan kamarnya
bernuansa biru. Di satu sisi,terdapat sebuah tepat tidur berseprai motif
kotak-kotak biru yang cukup simpel. Di depannya,terdapat rak buku serta meja
belajar dengan lacinya setengah terbuka karena kepenuhan kertas-kertas. Sebuah jendela
segiempat berkusen kayu berada di dinding antara meja belajar dan tempat
tidur,dengan lampu cahaya kuning di atas,dinyalakan. Sebuah TV mini dengan
segala peralatan game berada di sudut kamar,sejajar dengan kepala tempat tidur.
Tampaknya George selalu main game dari tempat tidurnya.
“Nah,”kata George pelan. Aku belum
pernah mendengar nada bicaranya seserius ini.” Jadi Ayah tidak pulang?”
“Biasanya dia selalu kabari aku,”ucapku
khawatir.” Tapi---“
“Kabari
aku,”George membeo sinis.” Ah benar. Kau kan anak emasnya.”
Aku merasa agak terganggu mendengar
nada George.” Apa maksudmu?”
“Kaliankan selalu sama-sama,sementara
aku,Maggie,dan Katie melakukan aktivitas sendiri. Kenapa kau masih tanya? Harusnya
kan Cuma kau yang tau.”
Ada nada sinis yang tajam dan tak
menyenangkan dalam suaranya.
“George,”kataku tak enak.” Kita sama-sama
anak Ayah.”
“Secara biologis,”George setuju.”Kita
juga sama-sama anak ibu. Secara realitas,Cuma kau anaknya.”
“Ada apa denganmu?!”kataku gusar.” Kau aneh
sejak latihan menembakku dengan ayah tadi siang!”
“Latihan
menembak,”George membeo mengejek.” Ayah bilang menembak adalah keahlian
laki-laki yang harus dikuasai. Sebagai putra sulung,aku merasa diremehkan,kau
tahu,”George menuding dadaku,mata birunya memandangku dengan sorot mata marah.”
Aku tidak paham kenapa Ayah memberimu begitu banyak les tambahan. Aku anak yang
pintar. Aku menyabet juara 3 lomba fisika se-Amerika,Luke! Tau apa katanya?”
Aku takut mendengar jawabannya,tapi aku
mencoba mencairkan suasana.” Memberi selamat?”
Usahaku gagal.
George mendengus.” Selamat? Barangkali hanya
kalau kau. Dia bilang nilai olahragaku buruk,seolah sedang membanggakan dirimu!”
Aku diam. George sedang panas sekarang.
“aku meminta ayah datang untuk
pengambilan raporku yang bagus,”geramnya. Mukanya sudah merah.” Dia bilang dia
sibuk. Tapi dia selalu punya waktu ketika menonton pertandingan karate-mu!”
“Mungkin kau terlalu---eh,usil?”
Aku sadar aku baru saja menandatangani
surat hukuman mati atas diriku sendiri. Mata George berkilat berbahaya,
Cuma ada 1 kalimat yang ada di
kepalaku.
Bodoh,bodoh,bodoh,bodoh
kau Luke!
“Nilaimu selalu rendah,”gumamnya.” Kau Cuma
hebat di bidang olahraga. Aku bintang kelas,putra sulung,lebih baik darimu. Bagaimana
caramu menjilat Ayah?”
Aku tau kata-kata George sudah
kelewatan,dan aku tersinggung mendengar kalimat terakhir George.” Menjilat?”
“Ya,jelas kau ahli dalam berpura-pu---“
Sebaiknya ubah sikapmu sendiri sebelum
mengoreksi orang lain,”ujarku dingin.” Menyudutkan orang seperti ini---kau
tidak layak disebut putra sulung.”
Aku tau aku sudah menyalakan lampu
hijau untuk hukuman matiku.
“Kau---“
George melayangkan tinjunya padaku. Karena
sudah les karate selama 6 tahun dan sudah Dan-1(sabuk hitam),aku memiliki
defense reflex yang bagus dan gesit. Aku menangkis tinjunya.
“Aku tak mau melukaimu,George.”
George menyeringai mengejek.” Yah,kau
selalu sok kuat. Aku tau kau sudah hebat,karena ayah tercintamu sayang padamu? Jangan-jangan
kau pakai popok juga?”
Telingaku panas mendengarnya. Sebenarnya
guru karate ku sudah mengatakan bahwa seni karate bukan digunakan untuk melukai
orang tapi melindungi diri,tapi pikiranku sedang panas sekarang.
Maaf,George.
Aku menghantamkan sikuku ke dada George
dan mendorongnya. George jatuh,tapi bukan sekedar jatuh biasa. Ia terhempas ke
lantai dengan keras dan terlempar jauh hingga menabrak jendela dan kacanya
pecah.
Aku
terpaku di tempat.
George menatapku dengan ngeri. Ia
menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti aku benar-benar akan membunuhmu.
Aneh seingatku aku tidak mendorongnya
sekeras itu. Aku cuma mendorongnya dari posisiku di dekat pintu dan George
tau-tau saja terhempas tiga meter menabrak jendela? Tiba-tiba logikaku macet.
Aku punya perasaan bahwa George bisa saja terlempar 10 meter jika tak ada
jendela (memang tak masuk akal,tapi perasaanku bilang begitu. Bagaimanapun
juga,perasaan tak bisa diabaikan) ,karena ada jendela saja kacanya langsung
pecah berkeping-keping?
Karena aku tak bisa berpikir
lagi,dengan pengecutnya aku lari keluar dari kamar itu.
No comments:
Post a Comment