Tuesday, December 25, 2012

Chapter 1 George's Anger - Part 2


   Kami makan malam tanpa Ayah.
Ayah tidak pulang-pulang sejak tadi siang. Entah karena ngobrol kelamaan dan nostalgia,tapi setidaknya bisa kabarin orang-orang rumah dulu kan?
Aku menghela nafas berat sambil mengaduk-aduk supku dengan setengah hati.
“Kenapa Ayah masih belum pulang?” tanyaku.
Suasana  ruang makan hening dan tidak menyenangkan. Biasanya Ayah tidak pernah tidak makan bersama kami,makanya sekarang aura makan malamnya aneh dan kaku. Maggie menggulung spaghettinya dengan garpu. George mengunyah makaroninya. Katie menyeruput es jeruknya. Tak ada yang bicara,dan aku tau jelas bahwa akulah penyebab ketegangan ini.
“Kenapa Ayah masih belum pulang?”ulangku. Aku benci diabaikan orang.
George mengangkat kepalanya,ekspresinya sulit dibaca. Biasanya ekspresinya selalu tak bisa kutebak,terutama pada waktu ia mau mulai menjahili orang. Tapi sekarang tampaknya ia sedang tak ingin usil. Ekspresinya tampak seperti...aku tak menyukainya.
“Ayo ikut aku,”katanya datar.
Aku tak suka nada bicaranya.
Georga berdiri dan meninggalkan ruangan. Aku tak suka ide itu,tapi aku terpaksa mengekorinya keluar. George terus berjalan,naik tangga,masuk ke kamarnya.
Mau apa dia?
Aku ikut masuk. Aku baru sadar bahwa aku belum pernah masuk ke kamar George. Desainnya sederhana dan kamarnya bernuansa biru. Di satu sisi,terdapat sebuah tepat tidur berseprai motif kotak-kotak biru yang cukup simpel. Di depannya,terdapat rak buku serta meja belajar dengan lacinya setengah terbuka karena kepenuhan kertas-kertas. Sebuah jendela segiempat berkusen kayu berada di dinding antara meja belajar dan tempat tidur,dengan lampu cahaya kuning di atas,dinyalakan. Sebuah TV mini dengan segala peralatan game berada di sudut kamar,sejajar dengan kepala tempat tidur. Tampaknya George selalu main game dari tempat tidurnya.
“Nah,”kata George pelan. Aku belum pernah mendengar nada bicaranya seserius ini.” Jadi Ayah tidak pulang?”
“Biasanya dia selalu kabari aku,”ucapku khawatir.” Tapi---“
Kabari aku,”George membeo sinis.” Ah benar. Kau kan anak emasnya.”
Aku merasa agak terganggu mendengar nada George.” Apa maksudmu?”
“Kaliankan selalu sama-sama,sementara aku,Maggie,dan Katie melakukan aktivitas sendiri. Kenapa kau masih tanya? Harusnya kan Cuma kau yang tau.”
Ada nada sinis yang tajam dan tak menyenangkan dalam suaranya.
“George,”kataku tak enak.” Kita sama-sama anak Ayah.”
“Secara biologis,”George setuju.”Kita juga sama-sama anak ibu. Secara realitas,Cuma kau anaknya.”
“Ada apa denganmu?!”kataku gusar.” Kau aneh sejak latihan menembakku dengan ayah tadi siang!”
Latihan menembak,”George membeo mengejek.” Ayah bilang menembak adalah keahlian laki-laki yang harus dikuasai. Sebagai putra sulung,aku merasa diremehkan,kau tahu,”George menuding dadaku,mata birunya memandangku dengan sorot mata marah.” Aku tidak paham kenapa Ayah memberimu begitu banyak les tambahan. Aku anak yang pintar. Aku menyabet juara 3 lomba fisika se-Amerika,Luke! Tau apa katanya?”
Aku takut mendengar jawabannya,tapi aku mencoba mencairkan suasana.” Memberi selamat?”
Usahaku gagal.
George mendengus.” Selamat? Barangkali hanya kalau kau. Dia bilang nilai olahragaku buruk,seolah sedang membanggakan dirimu!”
Aku diam. George sedang panas sekarang.
“aku meminta ayah datang untuk pengambilan raporku yang bagus,”geramnya. Mukanya sudah merah.” Dia bilang dia sibuk. Tapi dia selalu punya waktu ketika menonton pertandingan karate-mu!”
“Mungkin kau terlalu---eh,usil?”
Aku sadar aku baru saja menandatangani surat hukuman mati atas diriku sendiri. Mata George berkilat berbahaya,
Cuma ada 1 kalimat yang ada di kepalaku.
Bodoh,bodoh,bodoh,bodoh kau Luke!
“Nilaimu selalu rendah,”gumamnya.” Kau Cuma hebat di bidang olahraga. Aku bintang kelas,putra sulung,lebih baik darimu. Bagaimana caramu menjilat Ayah?”
Aku tau kata-kata George sudah kelewatan,dan aku tersinggung mendengar kalimat terakhir George.” Menjilat?”
“Ya,jelas kau ahli dalam berpura-pu---“
Sebaiknya ubah sikapmu sendiri sebelum mengoreksi orang lain,”ujarku dingin.” Menyudutkan orang seperti ini---kau tidak layak disebut putra sulung.”
Aku tau aku sudah menyalakan lampu hijau untuk hukuman matiku.
“Kau---“
George melayangkan tinjunya padaku. Karena sudah les karate selama 6 tahun dan sudah Dan-1(sabuk hitam),aku memiliki defense reflex yang bagus dan gesit. Aku menangkis tinjunya.
“Aku tak mau melukaimu,George.”
George menyeringai mengejek.” Yah,kau selalu sok kuat. Aku tau kau sudah hebat,karena ayah tercintamu sayang padamu? Jangan-jangan kau pakai popok juga?”
Telingaku panas mendengarnya. Sebenarnya guru karate ku sudah mengatakan bahwa seni karate bukan digunakan untuk melukai orang tapi melindungi diri,tapi pikiranku sedang panas sekarang.

Maaf,George.
Aku menghantamkan sikuku ke dada George dan mendorongnya. George jatuh,tapi bukan sekedar jatuh biasa. Ia terhempas ke lantai dengan keras dan terlempar jauh hingga menabrak jendela dan kacanya pecah.
 Aku terpaku di tempat.
George menatapku dengan ngeri. Ia menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti aku benar-benar akan membunuhmu.
Aneh seingatku aku tidak mendorongnya sekeras itu. Aku cuma mendorongnya dari posisiku di dekat pintu dan George tau-tau saja terhempas tiga meter menabrak jendela? Tiba-tiba logikaku macet. Aku punya perasaan bahwa George bisa saja terlempar 10 meter jika tak ada jendela (memang tak masuk akal,tapi perasaanku bilang begitu. Bagaimanapun juga,perasaan tak bisa diabaikan) ,karena ada jendela saja kacanya langsung pecah berkeping-keping?
Karena aku tak bisa berpikir lagi,dengan pengecutnya aku lari keluar dari kamar itu.

No comments:

Post a Comment