Aku suka permainan yang menguji keberanian,contohnya panjat tebing
yang terjal,atau terjun bebas dengan parasut. Aku juga gemar bela diri,bahkan
aku sudah dan-1,lalu aku juga lumayan suka surfing,dan masih banyak lagi.
Aku menjalani semua itu sejak usia 8 tahun,6 tahun dalam
proses,dan kini sudah menjadi hobi yang ditanamkan oleh Ayahku.
Ups, Maaf. Aku terlalu semangat,nyaris lupa memperkenalkan diri.
Perkenalkan, namaku Lucas
Kingston,putra kedua dalam keluarga Kingston yang kecil ini. George,putra
pertama sekaligus kakak laki-lakiku,adalah seseorang yang sangat,yah—bisa
dibilang,isi kepalanya hanya penuh dengan trik untuk membuat orang menjadi
bahan tertawaan,seolah ia dilahirkan dengan misi untuk mengganggu dan
menertawakan orang. Ia senang mengerjai Maggie,adik perempuanku yang terkecil.
Sebut saja masalah ikan basi yang yang ada di dalam selimut wol merah kesayangan
Maggie. Atau masalah kodok hidup di dalam tas tangannya. Maggie juga bukan tipe
gadis yang mau diam-diam saja diperlakukan seperti itu (keluarga kami semua
kebanyakan memiliki karakter pemberontak). Walaupun perbedaan tinggi George dan
Maggie sekitar 20 senti,tapi Maggie bisa saja langsung menonjok hidung George
hingga berdarah (ngomong-ngomong,Maggie rajin mengangkat dumbel).
Anehnya,mereka seperti jaga jarak
denganku. Maggie yang memiliki mata biru gelap yang tajam itu biasanya selalu
mendelik mengancam pada George,tapi kesadisan yang terpancar dari matanya
langsung padam begitu sedang bicara padaku. George juga sama saja
sebenarnya,yah,seperti yang tadi kukatakan,George dilahirkan dengan misi untuk
menjahili orang---kadang terlihat ekspresi jahilnya ketika bicara
denganku,seolah ia ingin mengerjaiku tapi kami tidak cukup akrab untuk saling
menjahili. Kutebak sih begitu.
Karena sikap dingin dan kaku mereka
itu,aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan ayahku (namanya Hayden
Kingston,ia seorang arsitek yang suka melakukan hal-hal ekstrim yang tak biasa
dilakukan orang). Ia memasukkanku ke les karate dan les renang 3 kali
seminggu,tiap kali setelah pulang sekolah. Mengikuti aktivitas atletik seperti
lompat tinggi,lompat jauh,dan lari,seminggu sekali,tepatnya tiap Sabtu di salah
satu klub atletik dekat rumahku. Tiap hari Minggu,aku dan Ayahku selalu keluar
bersama. Arung jeram,terjun parasut,menembak jitu,menyewa mobil balapuntuk
balapan di lintasan,panjat tebing,mendaki gunung—semua itu dilakukan bergilir setiap
minggu.
Mengenai ibuku,kata Ayah---Ibu pergi
saat Maggie berusia 3 tahun. Aku mendesak Ayah untuk menceritakan lebih
banyak,tapi ayah menolak untuk menjawab.
Nah,jadi itulah keluargaku. Kami
tinggal berempat bersama pengasuh kami yang berusia 25 tahun,namanya...umm..kalau
aku tak salah ingat sih Candy. Aku tak begitu akrab dengannya karena lebih
sering bersama Ayah. Sebaliknya,Candy lebih akrab dengan George dan Maggie.
Candy entah bagaimana mampu membuat George untuk tidak menjahilinya. Sering kudengar
mereka bertiga tiap Minggu piknik bersama atau melakukan aktivitas lain di luar
rumah sementara aku dan Ayahku melakukan aktivitas yang berbeda.
Kadang aku bingung kenapa Ayah tidaqk
memasukkanku ke les yang menyangkut soal pelajaran sekolah,soalnya nilai
pelajaran sekolahku bisa dibilang selalu di bawah rata-rata,kecuali mungkin
pelajaran olahraga,aku selalu menjadi bintang kelas. Kalau diperhatikan,semua
orangtua murid pasti sangat memperhatikan pelajaran anaknya. Maggie bahkan les
piano,karena katanya ia ingin jadi pianis yang hebat dan berkarisma (muka
George seperti monster yang terkena anemia ketika mendengarnya). Aku tidak
paham mengapa musik digambarkan dalam bentuk balok dan tauge,tapi Maggie suka
sekali.
Meski begitu,nilai pelajaran Maggie lumayan
bagus.
Meskipun George terlihat seperti orang
yang tampaknya tak punya keahlian lain selain menjahili orang,di luar dugaan ia
adalah murid terbaik di kelasnya. Ia pernah menyabet medali perunggu untuk
lomba fisika yang dilombakan se-Amerika. George sangat suka fisika,sehingga ia
sangat piawai dalam memprediksi seberapa tepat ia dapat mengketapel orang
dengan batu jika ia berdiri di sudut mana.
Karena tahun ini kami baru pindah ke
sekolah yang lebih dekat sebab sekolah yang dulu sangat jauh dari rumah kami
yang sekarang. Jadi,ditahun ketiga sekolah ini,kami pindah ke Hortenz
School,dimana sekolah ini terkenal akan pelajaran dan olahraganya yang bagus
(kasihan Maggie).
Nah,hari ini hari Minggu,dimana adalah
hari terakhir liburan musim panasku dan besok tanggal 1 September sekolah dimulai,sekaligus hari ini aku ada
pelajaran menembak jitu dengan ayahku.
Aku berjalan menuju pekarangan. Disana
sudah disediakan sasaran tembak berupa kaleng kecil diatas meja. Sekitar 15
meter di depan sasaran,2 pucuk pistol diletakkan pada sebuah meja kecil. Aku
berjalan menghampiri meja itu sambil bergumam menyapa Ayah yang sedang berdiri
menungguku.
Menembak adalah salah satu keahlian
laki-laki yang diharuskan ayah untuk dikuasai (entah kenapa George dikecualikan
dalam hal ini). Entah berapa jam kuhabiskan di pekarangan,lengan terulur sampai
ototku sakit,selagi membidik sasaran tembak. Itu kejadian 6 tahun lalu,sekarang
sih sudah biasa.
“Nah,”kata ayah berseri-seri.”
Berhubung karena hari ini hari terakhir liburanmu,aku akan mengajarimu teknik
baru.”
“ Ayah berharap aku menembak orang yang
berani macam-macam denganku di sekolah?”candaku.” Teknik baru?”
“Bukan teknik basi menembak lurus yang
biasa. Kau sudah menguasai teknik menembak langsung tanpa membidik,bagus itu,”
kata Ayah,tampaknya agak tak sabar untuk memulai.” Hari ini kita akan belajar
teknik membelokkan peluru.”
“ Membelokkan peluru?” tanyaku heran.”
Memangnya bisa?”
Ayah memberiku senyum samar,seolah ia
tahu hal yang tak kuketahui.” Kalau kau yang lakukan,pasti bisa.”
Aku baru mau tersenyum ketika kulihat
George melintasi pekarangan,melirik kami,mencoba menerka situasi. Kemudian
tatapannya berubah menjadi sinis,lalu ia masukke dalam rumah.
Apa-apaan sikapnya itu? Trik apalagi
yang ia mainkan?
Ayah menimang kedua pistol.” Baiklah.
Tolong panggil---siapa---umm.... pengasuh kita kemari sebentar,Luke.”
Aku masuk ke dalam rumah mencari Candy.
Dia sedang berada di ruang tamu,menemani Maggie bermain piano sementara George
sedang duduk dilantai menghadap meja utama di tengah ruang tamu,sedang
menggambardi selembar kertas yang kelihatannhya mirip perangkap tikus.
“Candy,Ayah memanggilmu.”
Candy berbalik memandangku.”
Katie,”katanya mengingatkan.” Kau selalu saja salah menyebut namaku.”
Ayah
bahkan tak ingat namamu,pikirku. Tapi aku tak berusaha mengigatkan hal itu
padanya.
Aku mengisyaratkan Katie untuk
mengikutiku. Katie bangkit dan bergumam pada Maggie,mungkin ia bilang bahwa
sebentar lagi ia kembali,lalu mengikutiku ke luar rumah.
“Kamu---uh...masih ingat bantal besar
tua yang kusuruh kau simpan di---dimana?”tanya ayah.
Katie memasang raut muka agak jenuh.”
Gudang.”
Ayah tampak lega.” Kupikir juga disana!
Makasih,siapa---”
“Katie,”kataku membantu.
“Katie,”ayah setuju.
Katie mengangguk lalu pergi. Ayah pergi
ke gudang,lalu kembali membawa sebuah bantal usang yang tinggi dan besar.ayah menarik salah satu
kursi santai dan meletakkannya disana,lalu menariknya sedemikian rupa hingga
berada di depan sasaran tembak,kira-kira 15 meter darinya sejajar denganku.
“Nah!”kata Ayah semangat.” Lihat ya!”
Ayah mengisyaratkanku untuk menyingkir
dan berdiri di samping. Aku menurut,lalu ayah menempati tempatku.
“ayah
mau menembak menembus bantal?”
Ayah tampak agak sebal.” Kau tidak
menyimakku ya? Kubilang hari ini aku akan mengajarimu seni membelokkan peluru!”
Aku mengernyit.” Tapi tetap saja
mustahil.”
Ayah mengangkat pistolnya.
“Ayah.”
Bahkan tanpa membidik,terlebih
dahulu,ayah menembak.
Terdengar suara peluru mengenai
sasaran. Aku berbalik,terkejut,tidak
percaya dengan apa yang kulihat.
Peluru tepat sasaran. Tanpa mengenai
bantal.
“Bagaimana---“
“itulah yang akan kau pelajari,”katanya
tenang.” Sini,berdiri di sini.”
Ayah menyingkir dan aku menempati
tempat ayah.
“Ambil sudut yang tepat,pakai
nalurimu.”
“Aku bahkan tak bisa melihat sasarannya!”
“Karena itu pakai nalurimu! Tergantung
kau mau atau tidak saja.”
Aku berusaha memusatkan seluruh
perhatian dan konsentrasiku pada pistol. Rasanya sia-sia saja,bahkan belum
tentu aku bisa menembak dengan mata terpejam,apalagi membelokkan peluru. Memangnya
aku Aeolus,raja angin?!
Dor. Peluru menembus bantal.
Aku menghela nafas.
“ayah yakin kau pasti bisa,”kata ayah
menegarkanku.” Maaf,kau latihan duluan saja ya,ayah ada urusan janji ketemu
dengan teman lama dulu.”
Ayah masuk ke dalam rumah.
Aku meletakkan pistol. Rasanya sia-sia.
Mana mungkin! Aku tak tau ayah tadi bisa melakukannya,tapi jelas saja mustahil.
Logikaku macet.
Kubereskan semuanya dan kembali ke
rumah. Terdengar dentingan nada piano yang lembut. Maggie masih main piano.
Hari minggu yang membosankan,tapi
sayangnya,Cuma siang ini saja.
***
Aku suka permainan yang menguji keberanian,contohnya panjat tebing
yang terjal,atau terjun bebas dengan parasut. Aku juga gemar bela diri,bahkan
aku sudah dan-1,lalu aku juga lumayan suka surfing,dan masih banyak lagi.
Aku menjalani semua itu sejak usia 8 tahun,6 tahun dalam
proses,dan kini sudah menjadi hobi yang ditanamkan oleh Ayahku.
Ups, Maaf. Aku terlalu semangat,nyaris lupa memperkenalkan diri.
Perkenalkan, namaku Lucas
Kingston,putra kedua dalam keluarga Kingston yang kecil ini. George,putra
pertama sekaligus kakak laki-lakiku,adalah seseorang yang sangat,yah—bisa
dibilang,isi kepalanya hanya penuh dengan trik untuk membuat orang menjadi
bahan tertawaan,seolah ia dilahirkan dengan misi untuk mengganggu dan
menertawakan orang. Ia senang mengerjai Maggie,adik perempuanku yang terkecil.
Sebut saja masalah ikan basi yang yang ada di dalam selimut wol merah kesayangan
Maggie. Atau masalah kodok hidup di dalam tas tangannya. Maggie juga bukan tipe
gadis yang mau diam-diam saja diperlakukan seperti itu (keluarga kami semua
kebanyakan memiliki karakter pemberontak). Walaupun perbedaan tinggi George dan
Maggie sekitar 20 senti,tapi Maggie bisa saja langsung menonjok hidung George
hingga berdarah (ngomong-ngomong,Maggie rajin mengangkat dumbel).
Apa ada chapter lain?
ReplyDeletekok pelurunya bisa tembus?
Kurasa nama yang tepat bukan 'membelokkan peluru" deh.
cepat sambung ya, bujuk mamamu supaya dikasih sambung critanya
seperti biasa, luke terlalu bodoh untuk menyadari tindakan ayahnya, tapi kok dia g dekat dgn george dan maggie?
Namanya Gperge anger, tapi mana bagian george marahnya?
ReplyDeleteApa dia marah krn Hayden terlalu dkt dgn luke?
apa terlalu byk pertanyaan ya?
sabar dekk
ReplyDeletedi part 2 baru marah
lg ketik aku
emang membelokkan peluru
ReplyDeletepapanya kan bs lakukan
ada sihir2 dikit itu,si papanya buat luke bs lakukan to luke g bs
kamu g bilang knapa George marah
Deleteliat yg part 2
Deletedia emang g dekat sm george maggie
ReplyDeletenta di part 2 brantam mreka
si luke lgsg banting george ke jendela,retak lgsg
kejam . . .
Deletedi crita yang clu mereka dekat
apa yang terjadi nanti?
mereka masuk labirinkan?
disini keknya sama skali g ad labiri
Delete