Monday, December 31, 2012

Chapter 3 Sir Joshua - Part 1


Apa yang terjadi barusan? Pertunjukkan sulap?
Ingatanku seolah jadi mirip video yang diputar dalam keadaan buffering. Macet.
Aku langsung berdiri dan lari keluar mencari George dan Maggie. Aku menemukan Maggie,tapi aku tak melihat George.
“Maggie!”seruku.” Dimana George?!”
Aku tertegun ketika melihat bahwa Maggie sedang menangis.
“A-apa yang terjadi?”tanyaku,takut untuk mendengar jawabannya.
“Mereka membawanya,”kata Maggie terisak.” Mereka bilang soal ramalan entah apa,lalu tau-tau saja membawa George pergi!”
Aku kaget setengah mati.” Apa?! Lalu mereka bilang apalagi?!”
“Nggak tau. Soal perubahan rencana dan segala macam---“
Maggie mengangguk. Kesedihan berubah menjadi kepanikan.” Luke,Katie juga lenyap! Apa maksud mereka?! Guardian dan segala macam---“
“Tenanglah! Aku juga nggak ngerti,”kataku pelan,aneh aku masih bisa tenang di situasi yang bisa dibilang tidak kupahami dan lebih parahnya,tidak masuk akal.” Coba kita lihat apa yang ada dalam brankas yang dititipkan ayah. Mungkin akan membantu.”
“Paling-paling cuma uang.”
“Mungkin ada petunjuk atau apapun yang bisa membantu kita.”
“Aku heran kau menyikapi segala hal ini dengan tenang seolah kau tau segala hal dan alasan mereka datang. Mereka tak tampak seperti ingin merampok.”
“Sudahlah,”kataku.” Ayo kita lihat brankas itu.”
Kami berdua masuk ke rumah dan Maggie mengunci pintu rumah,mungkin khawatir mereka akan kembali.
Aku dan Maggie lari ke ruang kerja ayah dan membungkuk untuk melihat brankas itu.
“Apa yang ayah bilang tadi?”tanyaku cepat.” 2512-1208—“
Maggie diam saja,mungkin syok. Aku mencoba mengingat-ingat,tapi tidak mudah untuk mengingat sesuatu setelah semua kejadian tadi. Apa kata Elaine soal kode? Ulang tahun. Benar. 2512-1208—
Aku menekan kode ke tombol acceptor.
“---1510-1307?”gumam Maggie.” Bagaimana kau bisa-?”
“Ssh.”
Terdengar bunyi click dari dalam brankas. Brankasnya telah terbuka,tak terkunci. Kubuka brankas itu.
Mungkin Maggie akan mengira menemukan uang atau surat warisan,tapi ternyata di dalamnya hanya ada secarik kertas dan sebuah kartu nama. Maggie mengambil yang kertas lebih dulu.
Isinya adalah:
                       1.K.C.
                  2.Reflection.
                  3. Temukan Joshua.
K. C. Entah kenapa,aku ngeri mendengar nama itu---atau istilah,apapun itu. Ini yang terus saja disebut-sebut Julius,Roger dan Elaine. Aku cuma tau bahwa mungkin K.C. ini adalah bad guy. Lalu reflection? Mungkin ada hubungan dengan cermin. Entahlah,aku bukan Sherlock Holmes.
“Joshua? Ayah suruh kita mencari Joshua,tapi dimana kita bisa menemukannya?! Ada jutaan Joshua di dunia!”gumam Maggie bingung, jelas-jelas masih panik walau ia berusaha keras untuk tenang. Aku mengambil kartu nama di dalam brankas.
“Kurasa ini,”kataku.” Joshua Peverell,dan rumahnya tak jauh dari sini. Kita bisa jalan kaki. Dan bawa kertas itu juga,mungkin Sir Joshua bisa membantu,dan menjelaskan segalanya. Ayo,Maggie.”

Saturday, December 29, 2012

Chapter 2 Hortenz School Part 5


Kira-kira setelah jam pelajaran Matematika berlangsung selama 1 jam,ada yang memecah keheningan kelas (tadinya ribut,tapi karena para murid bosan karena Mr. Pearson tidak marah ataupun setidaknya menunjukkan ekspresi lain selain ekspresinya yang membosankan itu,akhirnya kelas tenang sendiri dan berubah menjadi suasana mengantuk) dengan mengetuk pintu kelas. Kelihatannya sih bukan fans-fans Angelo.
“Masuk,”Mr. Pearson memberi izin.
Pintu kelas dibuka. Aku agak terkejut melihat George sedang berdiri di sana. Kayaknya kami sama sekali belum baikan,dan biasanya seumur hidup belum pernah ia datang ke kelasku,apalagi saat di tengah jam pelajaran. Tapi ekspresinya membuatku ragu,seolah ia baru menerima kabar terburuk,dan aku yakin sebentar lagi kabar itu akan segera disampaikan padaku.
“Maaf mengganggu,Mr----?”
“Pearson,”kata Mr. Pearson.
“Ada masalah yang sangat mendesak,Sir,sehingga saya harus menginterupsi di tengah pelajaran anda,tapi saya harus segera membawa pulang adik saya,Lucas Kingston. Ada masalah besar keluarga.”
Mr. Pearson mengerjap karena George bicara dengan nada cepat dan agak panik.” Baiklah.”
Aku berdiri,bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Julius membantuku menyimpan buku-bukuku,lalu ia menepuk pundakku.” Semoga tak ada masalah.”
“Trims.”
Aku mengangguk sopan pada Mr. Pearson,lalu keluar kelas.
“Ada apa ini?”tanyaku penasaran,begitu keluar dari kelas. Aku bahkan sempat melupakan pertengkaranku dengan George.” Apa yang masalah besar keluarga?!”
Tampaknya George masih marah padaku---tak kusangka dia sependendam itu--- dan mungkin dia makin marah karena aku santai saja dan terkesan tak peduli dengan pertengkaran itu.” Aku tidak akan datang ke kelasmu kalau bukan masalah yang sangat mendesak,Luke. Kau kira aku memaafkan mu?”
Aku menaikkan alis. Aku merasa tidak bersalah sama sekali.” Setahuku,aku tidak bersalah.”
George tidak senang.” Ayah tercintamu mendapat masalah. Tetangga melihat nya terkapar di pekarangan,lalu menelpon pihak sekolah.”
Rasa panik menyergapku,aku bahkan tak memperhatikan kata-kata ‘ayah tercintamu’.” Apa?!”
 “Karena itu kita harus pulang,”kata George,kelihatan tidak senang.” Kita lihat apa masalah Ayahmu.”
Aku tidak senang juga melihat betapa George tidak memedulikan ayah.” Pertengkaran kita bisa ditunda,”geramku.” Kita punya masalah sebesar ini tapi kau malah---“
Aku berusaha mengontrol emosiku yang nyaris meledak. Aku mengambil nafas pelan.
“Malah?”pancing George.
Aku membuang nafas pelan,lalu bicara dengan nada yang lebih tenang.” Aku kecewa padamu. Jika sikapmu seperti ini terus,aku tak mengakuimu sebagai putra sulung. Aku benci kau,George Kingston.”
Sungguh luar biasa aku bisa mengatakan “aku benci kau” dengan nada sekalem itu seolah aku sedang membicarakan aktivitas sehari-hariku. Tapi George tidak mengatakan apa-apa,tapi ia terlihat terkejut sekaligus terguncang (kusangka dia akan menghajarku di tempat,lalu besok pagi kami berdua akan jadi headline news di majalah dinding dengan judul “Pertengkaran saudara yang menggemparkan” lalu muncul foto kami berdua sedang bergulat? Aku tak suka ide itu),dia hanya berjalan menuruni tangga dan dengan enggan aku mengikutinya turun menjemput Maggie.
Biasanya Maggie tak pernah bicara padaku kecuali kalau memang benar-benar penting,tapi ia memandang kami berdua dan bertanya,”Ada apa dengan kalian? Kenapa muram begitu? Aku tau kalian memang jarang bicara,tapi kelihatannya ini agak lain dari biasanya... kalian bertengkar?”
George beralasan bahwa ada masalah menimpa Ayah,dan itulah yang membuat kami muram. Mata Maggie melebar,panik juga.” A-apa? Kalau gitu kita harus cepat pulang! Apa lagi yang kalian tunggu!?”
Kami pulang naik taksi,dan segera pulang,cemas apa yang akan terjadi nantinya.
Ketika George membuka pintu pagar,sosok terkapar yang ada di pekaranganmenunjukkan bahwa George tidak bohong.
“Ayah!”aku dan Maggie menjerit bersama,lalu lari menghampirinya.
“Dimana Katie?!”tanya Maggie panik,tampak kacau sekali.
Tiba-tiba tak kusangka-sangka Ayah malah mencengkeram kakiku. Matanya melotot ngeri seolah sudah mau kiamat,lalu ia bicara terbata-bata.” Ada musuh...Brankas...meja kerja....2512-1208---“
Lalu ayah berhenti bicara,matanya tetap terbuka.
Maggie syok.” Dia...nggak mungkin...kan?”
Aku menelan ludah,nggak percaya apa yang kulihat dan tidak bisa bicara. Tapi,di lain pihak,seharusnya aku mengkhawatirkan ayah atau memanggil ambulans,tapi bukan itu yang kulakukan.
Aku lari ke dalam rumah.
Aku dapat mendengar Maggie menjerit,”Apa yang kau lakukan!” sementara aku menerobos ruang kerja Ayah. Kudorong pintu kayu berat dan langsung masuk,berusaha mencari brankas yang ayah maksud.
Meja kerja.
Aku mengedarkan pandangan ke meja kerja ayah yang penuh kertas,seolah sudah diobrak abrik. Aku melongok ke bawah meja.
Sebuah brankas kecil warna hitam ada disana. Kutarik keluar (berat sekali!) brankas itu dan berusaha mengingat kode yang dikatakan Ayah tadi.
2512—apa tadi?
Kupandangi brankas itu. Jenis brankas digital 16 digit.
Tunggu. 16 digit?
“Fuh,akhirnya,”kata suara yang jernih dan ringan dari belakang yang kukenal.” Syukurlah Guardian itu sudah kuurus. Tapi gara-gara dia,aku malah nyaris telat membuka kode itu.”
Aku berbalik kaget. Aku tak percaya apa yang kulihat,seorang gadis berambut pirang,bermata hijau yang sangat kukenal. Ia merapikan roll rambutnya.
Saking terkejutnya aku malah berkata,”bukannya kau punya urusan keluarga? Kata Julius kau ikut reuni keluarga?”
Elaine mendengus. Dengusan meremehkan yang membuat image sang putri baik Elaine hancur di pandanganku. Dia seperti orang lain saja,caranya memandangku sangat angkuh sampai-sampai kupikir aneh juga Elaine bisa berekspresi seperti itu. Tapi instingku bilang bahwa sifat Elaine selama ini hanya bohong,dan inilah sifat aslinya.
Aku tak terlalu percaya.
“Semua lelaki sama saja. Pongah,”cibirnya.” Samson,siapapun itu,semuanya sama bodohnya.”
Aku tak terlalu senang mendengarnya.” Julius dan Roger akan kecewa melihatmu bolos untuk merampok rumah orang.”
“hmm...menarik,”gumamnya.” Kode nya 2512-1208-1510-1307. Nah,minggirlah biar aku bisa buka brankas itu. Kecewa? Julius! Dia bilang kau akan kecewa gara-gara kita masuk ke rumah orang dan melumpuhkan 2 guardian?!”
Ada sesuatu mewujud di udara. Ada 2 orang berdiri di sana,2 orang yang sangat kukenal.
“Apa yang---“
“Terkejut?”tanya Julius kalem.” Maaf,tapi waktu kami memang agak mepet. Kami cuma diberi 2 hari,jadi harus dipercepat.”
“Kupikir kau temanku,”geramku.
“Teman?”ujar Julius.” Kuharap juga begitu,Luke. Tapi dunia tak mengizinkan demikian. Sebenarnya aku ingin meyakinkanmu lebih lama lagi,tapi kami tak punya waktu. Kau teman ngobrol yang baik.”
Aku ingin sekali segera menghilang dari tempat itu. Kenyataan ini terlalu berat. Ayah kritis. Sekarang teman baru ku yang sudah kuanggap sahabat ternyata penyebab kritisnya Ayahku.” Kau sudah mengawasiku selama ini,”kataku perlahan.” Dan Elaine mengorek informasi kode dari brankas ini.”
“Kepongahan lelaki,”Elaine berkata lagi. Menyebalkan.
“Sudahlah,”geram Roger.” Kita buru-buru,sementara kalian malah berdebat?” Roger memandangku dan memasang muka sangar yang mampu membuatku mundur selangkah.” Cepat serahkan!”
Aku tutup mulut. Serahkan apa?
Julius menghela nafas.” Kau menakutinya,Roger. Siapapun jika digertak begitu tidak mungkin mau menurutimu. Bahkan aku juga tidak.”
Julius menatapku.” Serahkan saja,dan kami tak akan mengganggumu lagi.”
Aku ingin bilang,LALU AYAHKU?! Tapi tak jadi,entah kenapa aku merasa harus diam saja.
Roger memutar bola matanya.” Aku tak peduli,pokoknya cepat saja. Aku bosan jadi bayangan.”
“Kau mau jadi penguasa,ambisi besar,seperti yang dikatakan master,”gerutu Elaine.
“Bayangan?”kataku otomatis.”Apa maksudmu bayangan?”
Aku pernah bilang kan untuk tidak menjadikan Roger musuh? Tampaknya aku memang sudah menjadikannya musuh,bukan lagi sekutu. Roger memandangku seolah ingin memakanku.
“Dia sudah menyembunyikan ekspresi itu begitu lama,”komentar Elaine.” Dasar,aktingmu payah.”
“Aktingmu bagus,”gumam Julius.” Aku saja hampir percaya kau ternyata sebaik itu. Padahal angkuh---“
“Kuterima pujianmu,”kata Elaine agak jengkel.
Tapi Roger tidak mendengarkan. Ia malah membentak dengan suara kasar dan serak yang keras dan hampir membuatku terloncat dari tempatku sendiri.” Jangan pura-pura bodoh,Kingston! Kau kira itu bisa mengelabui kami ya?!”
Julius lagi-lagi menghela nafas,mungkin capek melihat Roger.” Dia memang tak tahu apa-apa. Dan ini memudahkan kita.”
Roger,antara tidak senang karena dikritik Julius atau gara-gara tidak sabar---mukanya jadi seram,tentu saja--- berkata,”Sudahlah! Cepat!”
CEPAT APA?!pikirku putus asa.
Elaine tampak sangat kesal melihatku.” Kau pandai mengalihkan perhatian,”katanya.” Cepat serahkan,kami nggak punya waktu. Kami cuma diberi 2 hari.”
“Aku nggak ngerti kalian mau apa!”bentakku.” sikap kalian nggak jelas!”
Elaine tampak gusar.” Apa?!”
Aku nggak ngerti kenapa dulu bisa-bisanya suka pada gadis mengerikan ini. Jelas mereka hanya pura-pura seolah kebetulan kenalan denganku dan mengincar entah apa dari kami,dan akting mereka bagus (tapi Roger tetap sangar sih). Hatiku sedih ditipu seperti itu.
Lalu aku mengutarakan pikiranku langsung ketika melihat Elaine marah.” Kau jelek kalau sedang marah.”
Mata Elaine melotot. Dia memang cantik,tapi sekarang ia tak tampak cantik sedikitpun di mataku.
Mungkin Julius lah yang paling tenang dan kalem.” Jaga emosimu,Elaine.”
“tapi dia---“
Elaine berusaha menenangkan emosinya.” Baiklah.”
“Kurasa kau terlalu keras pada Ayahnya,”komentar Julius.
“Eh?”kata Elaaine agak heran.” Habis dia keras kepala---“
“Kau kan nggak perlu membunuhnya,”kata Julius.” Dia memang belum tahu itu bukan Ayahnya,tapi kan cukup berguna sebagai sandera.”
Elaine memutar bolamatanya.” Harusnya kau bilang lebih cepat. Lagipula Guardian mereka keras kepala. Sudahlah,cepatlah,Julius. Aku masih harus mengambil dari Alice!”
Aku melakukan satu-satunya hal yang masuk akal,meski aku tak paham apa yang terjadi,yaitu bertanya,”Kenapa kalian lakukan ini?”
“Master K.C. punya tawaran bagus,”gumam Elaine.
“Sangat bagus,malah,”tambah Roger.
“Untuk orang tamak sepertimu,tentu saja sangat bagus,”kata Julius dengan gaya kalem yang,kalau aku ini Roger,pasti sangat menyebalkan.” Aku tak peduli soal kekuasaan ataupun kekuatan. Aku hanya ingin meng-klaim hidupku kembali. Aku tak mau hidupku celaka kalau kau salah bertindak,Luke.” Ia menatapku.” Jangan salah paham Luke,aku hanya ingin punya kendali sendiri atas hidupku sendiri. Bukannya bergantung padamu.”
“Tapi---aku tidak paham apa yang kau katakan.“
“Percaya saja,”sela Julius.” Aku tidak setamak 2 orang disana.”Ia mengedikkan kepala pada Roger dan Elaine,yang memprotes,”Hei!” dan “Apa maksudmu!”,tapi ia mengabaikan mereka.” Kita punya kelemahan fatal---“
“GARA-GARA BATU SIALAN ITU!”raung Roger.
“Diamlah,Roger. Ini bagianku,biarkan aku bicara,”kata Julius dengan nada halus,yang tak terlalu kusukai.” Ini benar-benar tak adil. Cobalah mengerti posisiku,Luke. Tak ada enaknya jadi reflection.”
“A-aku tak paham satupun kata-katamu.”
 “Aku tak peduli,”kata Julius,mata coklatnya yang tajam dan misteriusnya menatapku lurus-lurus. Tak enak tau dipandangi mata seperti itu. Rasanya seperti di rontgen,memcari kelemahan dalam dirimu.” Intinya,apapun yang terjadi padamu ,kami akan menderita juga. Contohnya jika kau mati,aku juga mati.”
Aku benar-benar tak paham,tapi untuk amannya aku berkata,” t-tapi bagaimana aku bisa membantumu?”
“Tidak perlu,”jawab Julius dingin.” Lebih baik kau langsung serahkan batu itu,dan segalanya selesai.”
“Selesai---bagaimana?”tanyaku hati-hati.
“Cepatlah!”seru Roger tak sabaran,mengangkat tinjunya.” Kalau kau masih menunda,akan kukeluarkan jantungmu dari dadamu langsung dengan tanganku!”
Ancaman yang tak masuk akal,tapi cukup membuatku takut.
“Tidak,Roger,jangan!”Julius memperingatkan.” Kau tau apa yang akan terjadi jika kau sakiti dia!”
Roger menurunkan tinjunya.” Baiklah. Kau beruntung kali ini.”
“teman-teman,”kata Elaine dengan nada murung.” Master K. C. Memanggil kita kembali. Perubahan rencana. Ayo.”
Roger,masih kesal,berbalik mengikuti Elaine keluar.
Julius memandangku lama-lama sampai aku jadi tak nyaman.” Batunya,”katanya pelan.” Sayang sekali. Kita akan bertemu lagi.”
Lalu ia keluar mengikuti mereka dan menghilang.

Friday, December 28, 2012

Chapter 2 Hortenz School - Part 4


Karena satu-satunya temanku di kelas ini cuma Julius,maka aku kembali duduk sebangku dengannya.
Sebenarnya dia juga tak bisa dibilang teman yang mudah bergaul dan aku tak yakin aku suka padanya atau tidak,tapi tampaknya sementara ini sih dia bisa jadi sahabatku. Bagaimana menurut kalian?
Elaine sendiri juga tampaknya kurang senang padaku karena kelihatannya ia juga ingin duduk di sebelah Julius,atau karena ia harus terpaksa duduk dengan seorang pemuda lain yang berotot dan berwajah sangar yang memiliki rambut merah dipotong agak berantakkan.
“Ini Roger Teague*,”Julius memperkenalkan pemuda sangar itu padaku.” Teman kami yang lain. Roger,Lucas Kingston.”
Aku mencoba memberi senyum terbaikku pada pemuda yang tampaknya tak begitu ramah itu.” Senang berkenalan denganmu.”
Aku mengulurkan tanganku padanya,sambil berdoa ia tidak akan mematahkan jari-jariku. Kau tak tau ekspresinya segarang apa. Roger mirip tipe cowok yang bermasalah yang lebih baik kau jadikan sekutu daripada musuh. Mungkin kalau aku salah bicara,bisa-bisa gigiku rontok semua dibuatnya. Ia sama sekali tak tersenyum,tapi ia menjabat tanganku.
Untung saja jari-jariku masih selamat.
“Roger,”tegur Elaine.” Sewaktu berkenalan,kau harus tersenyum ramah,bukan memasang ekspresi seolah mau memangsa orang begitu.”
Paling tidak Roger berusaha menuruti kata-kata Elaine,tapi “senyum” Roger (yang ia sunggingkan dengan patuh sesuai perintah Elaine) hanya berupa tarikan bibir yang membuatku merasa seperti berhadapan dengan monster yang belum buang air besar selama sebulan.
“Itu bukan senyuman,”Elaine seketika berkata.
“Ya,senyuman.”
“Tidak,”Elaine bersikeras.” Bibirmu bahkan tidak melengkung ke atas...bukannya sudah kuajari kau cara tersenyum ya ng baik?! Dan tak usah pasang muka sangar mu yang sudah bosan kulihat. Aku tak takut sedikitpun,malah membuatku mau tertawa.”
“Dia selalu tegang waktu kenalan,”kata Julius.” Sudah biasa. Nah,ini Lucas Kingston. Kau sudah tau siapa gadis ini kan? Elaine Caine.”
Ini kesempatan yang sejak tadi kutunggu-tunggu.
Elaine tersenyum ramah padaku.” Nama panggilanku Elaine.”
Aku balas tersenyum.” Aku biasa dipanggil Luke.”
“Luke,”gumamnya.” Nama yang bagus.”
Kemudian kami tak bisa melanjutkan obrolan kami lagi karena guru sudah masuk ke kelas.
“Aku Octavius,”kata guru yang masuk tadi.” Biasanya murid-murid memanggilku Mr. Octavius. Nah,saya akan mengajari kalian Kesenian. Literature.”
Roger terkikik.” Mr. Octopus pegang kuas menggambar?”
Aku harus menggigit bibir bawahku agar tidak tertawa. Julius menghela nafas pelan seolah sudah tau sifat buruk Roger,tapi toh ia tersenyum juga.
“Ada masalah di belakang sana?” tanya Mr. Octavius.
Aku dan Roger berusaha memasang wajah paling tak berdosa yang sanggup kami buat (meski wajah justru makin garang karenanya). Julius segera meratakan senyumnya dan memasang ekspresi serius seolah ia memang mendengarkan Mr. Octavius dengan baik.
“Baik,”kata Mr. Octavius,yang tingginya Cuma sekitar 160 cm dan bertubuh gempal.” Catat ini.”
Mr. Octavius mengambil kapur dan mulai menulis di papan tulis.
Tiba-tiba pintu kelas dibuka.
Angelo Princeton masuk,sementara di luar kelas terdengar teriakan para cewek gila. Tampaknya Angelo agak kewalahan,sepertinya ia sedang berusaha kabur dari kejaran para cewek.
“Maaf saya tak sopan,Mr. Octavian,”kata Angelo sopan. Jarang juga ada anak kaya yang sesopan ini. Biasanya---sesuai yang kubaca,anak orang kaya selalu berlaku sesuka hatinya.” Tapi anda bisa lihat sendiri bahwa keadaannya agak—eh,kurang terkendali. Dan---“
Suara para gadis menenggelamkan suara Angelo sehingga Angelo terpaksa diam. Elaine menutupi telinganya.
Angelo berdeham keras.” Para ladies yang cantik,bisa tidak membiarkan saya bicara sebentar?”
Tapi para cewek tak mau diam. Terdengar nada protes kurang senang dari mereka.
“Selalu saja begini,Princeton,”gerutu Mr. Octavius.” Jika kau berpakaian lebih sederhana,mereka tidak akan seheboh ini.”
Angelo tampak terkejut sekaligus heran.” Ini pakaianku yang paling sederhana,Mr. Octowayne.”
Mr. Octavius menghela nafas.” Octavius,bukan Octavian ataupun Octowayne---“
“Kuharap dia bilang Octopus,”desis Roger.
Angelo mengerjap.” Octavius. Setuju.”
Suara riuh di luar mendadak mati sunyi. Baik mr. Octavius maupun Angelo sampai terpaku.
Seorang gadis berambut pirang kehitaman yang panjang rambutnya sampai pinggang dan diikat satu di sisi kepala,masuk dengan langkah tenang. Matanya berwarna hitam kelam,tak tampak sedikitpun keceriaan ataupun—maaf---tanda kehidupan yang terpancar,seolah dia itu sudah mati. Ia mengingatkanku pada Lara Croft dalam film Tomb Rider,kejam dan tak berperasaan,menantang,seolah tak takut apapun,campur aduk jadi satu. Yang membedakannya dari Lara Croft mungkin adalah bahwa Lara Croft lebih manusiawi daripada gadis ini. Singkat cerita,gadis ini sangat suram,auranya mengerikan dan gelap. Ia memutar tas selempangnya.
Ia menatap para gadis di luar.” Kalian menghalangi jalan,dan teriakan kalian membuatku muak. Keluarlah.”
Sungguh kata-kata yang dingin dan tak berperasaan.
Para gadis beringsut pergi,tak berani membantah.
“Dia hebat,”Julius mengaku.
“Sorry Ladies!”
Angelo mengambil bangku kosong paling belakang,lalu duduk dengan gaya pangeran. Mr. Octavius kembali menulis sementara gadis itu berkata,”Maaf saya telat.”
“Silahkan mengambil tempat,Peverell.”
“Alice Peverell?”gumam Elaine dan Roger bersamaan.
Gadis yang bernama Alice itu beranjak ke sebelah Angelo,lalu duduk. Angelo tertawa dan berkata,”Hei,Alice! Kau selamatkan nyawaku!”
Tanpa menoleh pada Angelo,Alice berkata dingin,”terserah.”
Aura mengantuk menyebar ke seluruh ruangan ketika pelajaran dilanjutkan. Roger bahkan sudah ketiduran. Elaine membaca bukunya dengan tekun dan serius,yang sebenarnya---setelah aku mengintip dari balik bahu Elaine---adalah novel yang diletakkan di bawah buku Literature. Mata Julius sendiri sudah setengah terbuka,tak kuasa menahan kantuknya. Aku menoleh ke belakang. Angelo menguap,menutup mulutnya dengan tangannya,sementara Alice melamun seolah sedang memikirkan sesuatu yang lain,bukannya menyimak soal Teknik Dasar Mengarang yang diterangkan Mr. Octavius.
Waktu berjalan lambat,kemudian,akhirnya,bel tanda istirahat berbunyi.  
“Aku mau beli cemilan,tadi pagi tidak sempat sarapan,”kata Julius seraya berdiri.” Ayo,Roger.”
Roger tampaknya tak terlalu setuju untuk mengikuti keinginan Julius.” Hah? Tapi---“
Julius memberi tatapan penuh arti pada Roger. Ada pergulatan tak kasatmata di antara mereka berdua,dan Julius menang.
Roger menelan ludah.” Oh yeah! Oke,tentu saja! Kenapa tidak?”
“Senang mendengarnya,”kata Julius datar,lalu Julius mengalihkan tatapannya kepadaku,memandangku seolah ingin berkata,sudah kubukakan peluang emas. Manfaatkan dengan baik.
Aku menelan ludah dengan kaku ketika Julius dan Roger (yang kelihatannya terpaksa ikut) pergi. Elaine memandangku,seolah sedang mencari topik pembicaraan yang bagus.
“Apa kau tertarik dengan permainan tebak angka? Misalnya...pemecahan kode rahasia?”
Topik aneh yang ditanyakan tipe gadis seperti Elaine,dan aku tak tertarik dengan film kode-kodean. Tapi aku harus menyenangkan hatinya,jadi aku menjawab,”lumayan suka. Kenapa?”
Tiba-tiba ekspresi Elaine menjadi sangat senang---hampir girang,sebenarnya.” Rasanya menebak angka yang berjumlah banyak...seperti tipe 16 digit. Kalau jadi aku,aku akan mengisinya dengan tanggal lahir setiap anggota keluargaku. Bagaimana menurutmu?”
“Ya,masuk akal,”kataku pura-pura tertarik,supaya ia tak kecewa padaku.
Elaine berhenti,tampaknya dia tau bahwa aku cuma pura-pura tertarik. Ia mengganti topik.
“Kapan ulang tahun mu?” tanyanya.
Aku agak terkejut dengan perubahan topik mendadak ini.” Eh---12 Agustus.”
Elaine tersenyum. Percayalah,kau tak akan kuat menghadapi senyumannya,tapi aku berusaha bertahan agar tidak memujinya.” Kapan ulang tahun kakak dan adikmu?”
“Ultah tepat natal,”gumamku berusaha mengingat-ingat.” Maggie lahir pada tanggal 15 Oktober,tapi secara hukumnya sih 18 Oktober,karena Ayah baru mendaftarkannya ke kantor sipil.”
“Pantas saja,”gumam nya.
Aku memandang Elaine.” Apa?”
Elaine menatapku.” Tidak. Nah,kapan ultah ayahmu?”
Aku menatap Elaine serius.” Kau seperti mata-mata saja.”
Elaine tertawa,tapi tawanya terkesan agak kaku dan aneh.” Benarkah? Kuterima pujianmu. Jadi,kapan ultah Ayahmu?”
“13 Juli,”jawabku,masih merasa aneh.
Elaine mengangguk lalu ia tertawa.” Kalau begitu,jika dimasukkan dalam kode 16 digit,berarti kodenya 1307-2512-1208-1510?”
“Kupikir kenapa,ternyata kau lagi-lagi membahas topik favoritmu,”aku pura-pura mengeluh.” Kukira kau ini mata-mata atau apa.”
Elaine tertawa,garis wajahnya terlihat senang dan geli.” Nah,kalau aku sih akan memasukkan kode sesuai urutan keluargaku,jadi kalau diurutkan,jadi 2309----“
“Kalian dalam obrolan seru,sepertinya.”
Roger dan Julius sudah kembali,sambil membawa nampan penuh berisi Cola dan french fries,sebungkus nasi,dan hamburger besar isi beef double.
“Obrolan seru pula,”Elaine mencibir.
“Cemilan?”gumamku ragu.” Kelihatannya itu makanan berat.”
“Aku belum sarapan,”Julius membela diri.” Sebaiknya aku makan sebelum guru matematika datang.”
 Pelajaran selanjutnya adalah Matematika,pelajaran yang tak lebih menarik daripada fisika.
Sebenarnya guru matematika kami oke juga,sih. Dia seorang pria kurus tinggi berwajah datar yang terlihat membosankan,sama sepertinya pakaiannya,dan dia tidak keberatan jika kami ngobrol asalkan tidak terlalu ribut,sementara ia mengoceh membosankan soal...apa itu? Aljabar?
Saat di tengah-tengah pelajaran,tiba-tiba Mr. Pearson (guru matematika kami) menerima panggilan telepon lalu berkata,”Caine,kau diminta pulang karena urusan keluarga.”
Elaine tampak terkejut.” Eh,baiklah mr. Pearson.”
Elaine bangkit mengambil tasnya dan bergumam pelan pamit pada kami,lalu keluar dengan sopan.
“Apa yang terjadi?”tanyaku ingin tahu.
“Mungkin soal reuni orangtuanya,”jawab Julius seadanya.” Semoga ia baik-baik saja,apalagi dia cuma sendirian.”
Aku bingung.” Kau bicara seolah dia mau pergi melintasi gurun kematian saja.”
“Mungkin. Sudah,jangan bahas ini lagi. Kita sudah dipelototi Mr. Pearson.


*read : teeg

Thursday, December 27, 2012

NOTE

Sorry.... I've changed the INTRODUCTION so please scroll down to see the new one. thanks

Wednesday, December 26, 2012

Chapter 2 Hortenz School - Part 3


Ternyata aku sekelas dengan Julius,dan tentunya Elaine juga.
“Nama cowok tadi Angelo ya?”kata Julius datar,jarinya menelusuri sederetan nama-nama di kertas pengumuman yang ditempelkan.” Dia sekelas dengan kita juga.”
“Kukira dia lebih tua?”tanyaku.
“Tidak. Lihat,”kata Julius,menunjuk sebuah nama.” Ini.”
Aku membaca namanya. Angelo Princeton.
“Bagus,”gerutuku.” Kita takkan tenang lagi deh.”
Kami beringsut mencari kelas kami.
“Kapan upacara penyambutan murid baru?”tanyaku ketika kami sedang menyusuri koridor jembatan penghubung antar gedung,karena kelas kami ada di gedung yang satu lagi lantai 3.
Julius berhenti. Ia memandangku.” Upacaranya senin lalu,Lucas.”
“Apa?”kataku heran.” Masa?”
Julius mengangkat sebelah alisnya.” Ya,tapi kulihat saudaramu datang. Aku heran kenapa kau tak datang?”
Aku jadi heran.” Kita baru saling kenal. Kenapa kau tau aku tak datang?”
Julius berusaha menghindari tatapan mataku.” Yah,karena kau saudara mereka kan? Mereka duduk di bangku ke-limabelas,kalau aku tak salah ingat.”
Bukannya aku dan Julius baru kenalan? Aku kagum Julius mampu mengingat wajah orang dengan cepat,tapi menurutku ia bukan tipe orang yang ingat wajah orang karena menurutnya bukan hal yang penting.
“Bangku limabelas?”tanyaku. Julius ingat bangku berapa George dan Maggie duduk,nah—itu agak,yah,kurang masuk akal bagiku.
“ya,”Julius mengalihkan perhatiannya dn berjalan lagi.” Aku tepat duduk di belakang mereka.”
Yah,itu cukup masuk akal,entah kenapa aku masih ragu. Kuputuskan untuk tidak mempermasalahkan hal itu lagi,karena pulang sekolah nanti,aku harus bicara serius dengan George dan Maggie yang tidak memberitahuku soal upacara itu.

Chapter 2 Hortenz School - Part 2


Hortenz School---yah,lumayan bagus,hampir mirip dengan sekolahku yang dulu.2  gedung  putih yang 4 lantai dan disusun---kata Julius,jika dilihat dari atas---membentuk huruf “H”,yang diantara kedua gedung itu dihubungkan dengan koridor jembatan yang ada di setiap lantai.
“H”. Hortenz. Lumayan kreatif.
Anak-anak yang datang dengan mobil masuk lewat gerbang depan,dan penuh,sehingga bus kami terpaksa membelok ke gerbang besar di sisi lain.
Kami turun.
Baru melangkah beberapa langkah,terdengar suara heboh dari arah gerbang depan mobil-mobil tadi.
Sebuah mobil BMW mewah (mungkin seri 760,seingatku sih itu keluaran terbaru)merah metallic dan dipoles mengilat masuk. Jenis mobil yang kap atasnya dapat dibuka,tapi tidak sedang dibuka. Mobil tersebut diparkirkan di tempat pemarkiran dekat gerbang yang bus kami masuki tadi. Segerombolan---tidak,jumlahnya mungkin sekitar 20 orang—gadis-gadis mengikuti BMW itu dari belakang,menjerit histeris.
“Ada apa itu?”tanya Julius,nadanya terkesan jijik.
“Kita akan segera mengetahuinya.”
Pintu mobil dibuka.
Teriakan semakin histeris. Aku menutup telinga karena telingaku berdengung mendengar teriakan mereka yang melengking.
“Seperti kerasukan saja,”komentarku.
Seorang cowok---mungkin lebih tua dariku,atau dia memang terlihat dewasa? Tapi yang jelas dia lebih tinggi dariku---tegap,gagah,keluar dari mobil mewah itu. Ia mengenakan semacam kacamata hitam gaya bermerk yang mungkin mahal,dan dari penampilannya aku bisa menebak bahwa ia mungkin semacam putra konglomerat atau apa.rambut coklatnya dijigrakkan dengan wax. Ia mengenakan baju kulit warna hitam yang terlalu menarik perhatian dan kalung rantai perak menghiasi lehernya.
Para gadis masih terus menjerit,kali ini dengan frekuensi yang lebih memekakkan. Mereka meneriakkan sebuah nama,tapi aku tak bisa menangkapnya. Kedengarannya seperti Emilio,tapi sepertinya bukan.
“Dia itu mau sekolah atau merayu cewek?”Julius melontarkan komentarnya.
Si cowok BMW melambaikan tangannya pada segerombolan gadis,yang menjerit makin heboh sampai-sampai Julius terpaksa memasang headsetnya serapat mungkin.
“Dia pikir dia selebriti?”kataku di sela-sela teriakan.
Cowok BMW berbalik memandangku. Bagus,tambah 1 masalah baru di hari pertama sekolah.
“Apa kau bilang?” tanyanya.
Aku menggerutu.” Telingamu luar biasa,bisa mendengar di tengah-tengah teriakan.”
Si cowok BMW melepas kacamata hitamnya. Ia mengangkat alis,matanya berwarna coklat terang. Yah dia sangat tampan,apalagi dia juga kaya,tipe idaman para gadis,kan? Kelihatannya dia juga rajin fitness membentuk tubuhnya seatletis mungkin. Tak heran para gadis heboh,tapikupikir dia terlalu percaya diri,dan gayanya berlebihan.
Meski begitu,sepertinya dia bukan tipe orang yang mudah marah. Emosinya setenang rumah angker. Yah,menurutku tak cocok dengan penampilannya sih.
“Oh begitu,”katanya.” Baik,selamat mebikmati harimu disini,murid baru.”
Lalu ia berlalu,diikuti segerombolan gadis-gadis berisik.
Aku mengangkat bahu.” Ayo lihat dimana kelaskita. Semoga kita sekelas.”
***

Chapter 2 Hortenz School - Part 1


Besoknya,tak ada yang menyinggung-nyinggung soal kacajendela,bahkan George sendiri juga tidak mengatakan apa-apa soal itu.
Kecuali ayah,yang sudah terlihat duduk di kursi makan saat sarapan pagi ini.
Kau tak tau seberapa leganya diriku.
“Kenapa dengan jendela kamarmu,George?”tanya Ayah.” Pecahan kacanya bertebaran di pekarangan waktu aku pulang.”
Selama sedetik yang mengerikan,kukira George akan mengatakan yang sebenarnya. Tapi George bukan tipe anak yang suka mengadu dan menjelek-jelekkan orang,walau dia usil banget (dasar,sok tau kau Luke). Dia menggeleng.
“Wii,”dusta George.” Alat kontrol wii-ku terlepas sewaktu aku main game,terlempar keluar dari jendela.”
Ayah mengangguk,tidak tampak marah,entah karena percaya atau merasa bahwa itu bukan hal yang penting sekarang,ia berkata,” Bus sekolah segera datang,ayo bersiap-siap.”
Aku menggigit roti bakar isi coklatku,lalu bergegas mengambil tasku di sofa ruang tamu.
Suara tin-tin tak sabaran terdengar dari luar rumah.
“Kami pergi.”
Aku bergegas ke ruang depanmemakai sepatu dan keluar,naik ke bus sekolah kuning yang tertulis Hortenz School.
Bus tersebut nyaris penuh. Tempat duduk paling belakang (tempat faoritkudi bus,biasanya) ditempati  4 orang besar yang tampaknya adalah penguasa di sini,karena salah satu dari mereka yang berambut merah memukul kepala cowok kerempeng berkacamata bulat kuno yang ada di depannya,dan cowok itu tampak pasrah saja.
Supaya tidak kena masalah,kuputuskan untuk tidak mengambil resiko di bangku belakang.
Ada sebuah tempat kosong di baris ketiga dari depan,seorang cowo berambut hitam memasang headset besarnya yang berwarna hitam metallic di kepalanya sedang duduk di kursi dalam,memandang keluar jendela.
“Boleh aku duduk?”tanyaku sopan.
Cowok itu melepas headsetnya dan menatapku dengan mata cokelat kelamnya yang cool dan terkesan misterius sejenak,menilai. Lalu tanpa bilang apa-apa ia pun mengangguk.
“Makasih.”
Aku baru duduk ketika Maggie dan George naik ke bus. Maggie mengambil tempat kosong di belakangku yang sebelahnya diduduki seorang gadis berambut merah gelap. George,yang tampaknya tak punya pilihan lain selain duduk di sebelah cowok kerempeng yang tadi dibully,satu-satu tempat yang tersisa.
Bus berjalan.
Aku menoleh kaku ke cowok yang ada di sebelahku. Rambutnya hitam dipangkas pendek dan segar. Matanya cokelat gelap yang tajam,dan misterius. Ia mirip tipe cowok penyendiri yang diam-diam memiliki banyak penggemar. Gaya pakaiannya juga oke,mengenakan T-shirt hitam yang pas dengan tubuhnya dan celana jeans,membuatnya tampak tegap dan gagah,ditambah headset besar berwarna hitam sebagai aksesoris pelengkap.
Cowok itu sadar aku sedang memandangbya,jadi buru-buru aku langsung mengalihkan perhatianku ke bangku kedua disebelahku.
Seorang gadis berambut pirang sedang duduk disana dengan gaya anggun. Rambutnya yang  berwarna keemasan itu di-roll indah dan dihiasi pita merah besar di belakangnya. Matanya bulat besar berwarna hiaju mempesona. Ia mirip putri raja protagonis yang berkarakter baik dan anggun.
 Dan gawatnya,ia memergokiku sedang memandangnya.
Dan yang membuatku terkejut setengah mati,ia tersenyum padaku.
Aku menelan ludah. Bukan hal yang dapat terjadi setiap hari jika ada seorang gadis cantik tersenyum padamu yang sama sekali belum dikenalnya.
Aku membalas senyumannya dengan kaku. Gadis itu kembali menekuni ipod nya. Aku berusaha menjaga agar mulutku tetap terkatup rapat,bukannya ternganga seperti orang kampungan. Tapi masalahnya mataku tak bisa lepas darinya.
“Terpesona padanya?”
Aku menoleh kaget. Cowok disebelahku sedang memandangku.
“Mukamu merah,”dia mengingatkanku.
“M-maaf?”
“Mukamu merah,”ulangnya.
Aku merenggut.” Tak perlu kauingatkan.”
Ia mendengus pelan,lalu kembali memandang keluar jendela.
“Namanya Elaine,”katanya tiba-tiba.” Elaine Caine.”
Aku menatapnya.” Kau mengenalnya?”
“Aku kenal dia sejak lahir.”
“Oh,”gumamku. Sejak lahir. Nah,aku harus kenalan dengan Elaine,kan? Kesempatan bagus.
Aku mengulurkan tangan padanya.” Lucas Kingston.”
Ia memandangku. Lalu ia menjabat tanganku.” Julius Leondre.”
Bagus. Selangah lebih maju untuk berkenalan dengan Elaine.
“Aku murid baru tahun ketiga,”kataku.
“Aku juga,”jawab Julius singkat.
“Aku punya seorang kakak lelaki dan seorang adik perempuan,”kataku lagi.” Adikku tepat di belakang kita. Kakakku duduk di paling belakang.”
Karena tak ada pilihan,pikirku.
“Aku datang bersamanya,”Julius mengedikkan kepala ke arah Elaine.” Roger menyusul. Dia naik mobil.”
Ketika Julius melihatku kebingungan,Julius menambahkan,”temanku yang lain.”
Aku merasa aku sudah terlalu cerewet,jadi kuputuskan untuk tutup mulut,sampai bus tiba di sekolah.

Tuesday, December 25, 2012

Chapter 1 George's Anger - Part 2


   Kami makan malam tanpa Ayah.
Ayah tidak pulang-pulang sejak tadi siang. Entah karena ngobrol kelamaan dan nostalgia,tapi setidaknya bisa kabarin orang-orang rumah dulu kan?
Aku menghela nafas berat sambil mengaduk-aduk supku dengan setengah hati.
“Kenapa Ayah masih belum pulang?” tanyaku.
Suasana  ruang makan hening dan tidak menyenangkan. Biasanya Ayah tidak pernah tidak makan bersama kami,makanya sekarang aura makan malamnya aneh dan kaku. Maggie menggulung spaghettinya dengan garpu. George mengunyah makaroninya. Katie menyeruput es jeruknya. Tak ada yang bicara,dan aku tau jelas bahwa akulah penyebab ketegangan ini.
“Kenapa Ayah masih belum pulang?”ulangku. Aku benci diabaikan orang.
George mengangkat kepalanya,ekspresinya sulit dibaca. Biasanya ekspresinya selalu tak bisa kutebak,terutama pada waktu ia mau mulai menjahili orang. Tapi sekarang tampaknya ia sedang tak ingin usil. Ekspresinya tampak seperti...aku tak menyukainya.
“Ayo ikut aku,”katanya datar.
Aku tak suka nada bicaranya.
Georga berdiri dan meninggalkan ruangan. Aku tak suka ide itu,tapi aku terpaksa mengekorinya keluar. George terus berjalan,naik tangga,masuk ke kamarnya.
Mau apa dia?
Aku ikut masuk. Aku baru sadar bahwa aku belum pernah masuk ke kamar George. Desainnya sederhana dan kamarnya bernuansa biru. Di satu sisi,terdapat sebuah tepat tidur berseprai motif kotak-kotak biru yang cukup simpel. Di depannya,terdapat rak buku serta meja belajar dengan lacinya setengah terbuka karena kepenuhan kertas-kertas. Sebuah jendela segiempat berkusen kayu berada di dinding antara meja belajar dan tempat tidur,dengan lampu cahaya kuning di atas,dinyalakan. Sebuah TV mini dengan segala peralatan game berada di sudut kamar,sejajar dengan kepala tempat tidur. Tampaknya George selalu main game dari tempat tidurnya.
“Nah,”kata George pelan. Aku belum pernah mendengar nada bicaranya seserius ini.” Jadi Ayah tidak pulang?”
“Biasanya dia selalu kabari aku,”ucapku khawatir.” Tapi---“
Kabari aku,”George membeo sinis.” Ah benar. Kau kan anak emasnya.”
Aku merasa agak terganggu mendengar nada George.” Apa maksudmu?”
“Kaliankan selalu sama-sama,sementara aku,Maggie,dan Katie melakukan aktivitas sendiri. Kenapa kau masih tanya? Harusnya kan Cuma kau yang tau.”
Ada nada sinis yang tajam dan tak menyenangkan dalam suaranya.
“George,”kataku tak enak.” Kita sama-sama anak Ayah.”
“Secara biologis,”George setuju.”Kita juga sama-sama anak ibu. Secara realitas,Cuma kau anaknya.”
“Ada apa denganmu?!”kataku gusar.” Kau aneh sejak latihan menembakku dengan ayah tadi siang!”
Latihan menembak,”George membeo mengejek.” Ayah bilang menembak adalah keahlian laki-laki yang harus dikuasai. Sebagai putra sulung,aku merasa diremehkan,kau tahu,”George menuding dadaku,mata birunya memandangku dengan sorot mata marah.” Aku tidak paham kenapa Ayah memberimu begitu banyak les tambahan. Aku anak yang pintar. Aku menyabet juara 3 lomba fisika se-Amerika,Luke! Tau apa katanya?”
Aku takut mendengar jawabannya,tapi aku mencoba mencairkan suasana.” Memberi selamat?”
Usahaku gagal.
George mendengus.” Selamat? Barangkali hanya kalau kau. Dia bilang nilai olahragaku buruk,seolah sedang membanggakan dirimu!”
Aku diam. George sedang panas sekarang.
“aku meminta ayah datang untuk pengambilan raporku yang bagus,”geramnya. Mukanya sudah merah.” Dia bilang dia sibuk. Tapi dia selalu punya waktu ketika menonton pertandingan karate-mu!”
“Mungkin kau terlalu---eh,usil?”
Aku sadar aku baru saja menandatangani surat hukuman mati atas diriku sendiri. Mata George berkilat berbahaya,
Cuma ada 1 kalimat yang ada di kepalaku.
Bodoh,bodoh,bodoh,bodoh kau Luke!
“Nilaimu selalu rendah,”gumamnya.” Kau Cuma hebat di bidang olahraga. Aku bintang kelas,putra sulung,lebih baik darimu. Bagaimana caramu menjilat Ayah?”
Aku tau kata-kata George sudah kelewatan,dan aku tersinggung mendengar kalimat terakhir George.” Menjilat?”
“Ya,jelas kau ahli dalam berpura-pu---“
Sebaiknya ubah sikapmu sendiri sebelum mengoreksi orang lain,”ujarku dingin.” Menyudutkan orang seperti ini---kau tidak layak disebut putra sulung.”
Aku tau aku sudah menyalakan lampu hijau untuk hukuman matiku.
“Kau---“
George melayangkan tinjunya padaku. Karena sudah les karate selama 6 tahun dan sudah Dan-1(sabuk hitam),aku memiliki defense reflex yang bagus dan gesit. Aku menangkis tinjunya.
“Aku tak mau melukaimu,George.”
George menyeringai mengejek.” Yah,kau selalu sok kuat. Aku tau kau sudah hebat,karena ayah tercintamu sayang padamu? Jangan-jangan kau pakai popok juga?”
Telingaku panas mendengarnya. Sebenarnya guru karate ku sudah mengatakan bahwa seni karate bukan digunakan untuk melukai orang tapi melindungi diri,tapi pikiranku sedang panas sekarang.

Maaf,George.
Aku menghantamkan sikuku ke dada George dan mendorongnya. George jatuh,tapi bukan sekedar jatuh biasa. Ia terhempas ke lantai dengan keras dan terlempar jauh hingga menabrak jendela dan kacanya pecah.
 Aku terpaku di tempat.
George menatapku dengan ngeri. Ia menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti aku benar-benar akan membunuhmu.
Aneh seingatku aku tidak mendorongnya sekeras itu. Aku cuma mendorongnya dari posisiku di dekat pintu dan George tau-tau saja terhempas tiga meter menabrak jendela? Tiba-tiba logikaku macet. Aku punya perasaan bahwa George bisa saja terlempar 10 meter jika tak ada jendela (memang tak masuk akal,tapi perasaanku bilang begitu. Bagaimanapun juga,perasaan tak bisa diabaikan) ,karena ada jendela saja kacanya langsung pecah berkeping-keping?
Karena aku tak bisa berpikir lagi,dengan pengecutnya aku lari keluar dari kamar itu.

Monday, December 24, 2012

Chapter 1 George's Anger - Part 1

Aku suka permainan yang menguji keberanian,contohnya panjat tebing yang terjal,atau terjun bebas dengan parasut. Aku juga gemar bela diri,bahkan aku sudah dan-1,lalu aku juga lumayan suka surfing,dan masih banyak lagi.
Aku menjalani semua itu sejak usia 8 tahun,6 tahun dalam proses,dan kini sudah menjadi hobi yang ditanamkan oleh Ayahku.
Ups, Maaf. Aku terlalu semangat,nyaris lupa memperkenalkan diri.
Perkenalkan, namaku Lucas Kingston,putra kedua dalam keluarga Kingston yang kecil ini. George,putra pertama sekaligus kakak laki-lakiku,adalah seseorang yang sangat,yah—bisa dibilang,isi kepalanya hanya penuh dengan trik untuk membuat orang menjadi bahan tertawaan,seolah ia dilahirkan dengan misi untuk mengganggu dan menertawakan orang. Ia senang mengerjai Maggie,adik perempuanku yang terkecil. Sebut saja masalah ikan basi yang yang ada di dalam selimut wol merah kesayangan Maggie. Atau masalah kodok hidup di dalam tas tangannya. Maggie juga bukan tipe gadis yang mau diam-diam saja diperlakukan seperti itu (keluarga kami semua kebanyakan memiliki karakter pemberontak). Walaupun perbedaan tinggi George dan Maggie sekitar 20 senti,tapi Maggie bisa saja langsung menonjok hidung George hingga berdarah (ngomong-ngomong,Maggie rajin mengangkat dumbel).
Anehnya,mereka seperti jaga jarak denganku. Maggie yang memiliki mata biru gelap yang tajam itu biasanya selalu mendelik mengancam pada George,tapi kesadisan yang terpancar dari matanya langsung padam begitu sedang bicara padaku. George juga sama saja sebenarnya,yah,seperti yang tadi kukatakan,George dilahirkan dengan misi untuk menjahili orang---kadang terlihat ekspresi jahilnya ketika bicara denganku,seolah ia ingin mengerjaiku tapi kami tidak cukup akrab untuk saling menjahili. Kutebak sih begitu.
Karena sikap dingin dan kaku mereka itu,aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan ayahku (namanya Hayden Kingston,ia seorang arsitek yang suka melakukan hal-hal ekstrim yang tak biasa dilakukan orang). Ia memasukkanku ke les karate dan les renang 3 kali seminggu,tiap kali setelah pulang sekolah. Mengikuti aktivitas atletik seperti lompat tinggi,lompat jauh,dan lari,seminggu sekali,tepatnya tiap Sabtu di salah satu klub atletik dekat rumahku. Tiap hari Minggu,aku dan Ayahku selalu keluar bersama. Arung jeram,terjun parasut,menembak jitu,menyewa mobil balapuntuk balapan di lintasan,panjat tebing,mendaki gunung—semua itu dilakukan bergilir setiap minggu.
Mengenai ibuku,kata Ayah---Ibu pergi saat Maggie berusia 3 tahun. Aku mendesak Ayah untuk menceritakan lebih banyak,tapi ayah menolak untuk menjawab.
Nah,jadi itulah keluargaku. Kami tinggal berempat bersama pengasuh kami yang berusia 25 tahun,namanya...umm..kalau aku tak salah ingat sih Candy. Aku tak begitu akrab dengannya karena lebih sering bersama Ayah. Sebaliknya,Candy lebih akrab dengan George dan Maggie. Candy entah bagaimana mampu membuat George untuk tidak menjahilinya. Sering kudengar mereka bertiga tiap Minggu piknik bersama atau melakukan aktivitas lain di luar rumah sementara aku dan Ayahku melakukan aktivitas yang berbeda.
Kadang aku bingung kenapa Ayah tidaqk memasukkanku ke les yang menyangkut soal pelajaran sekolah,soalnya nilai pelajaran sekolahku bisa dibilang selalu di bawah rata-rata,kecuali mungkin pelajaran olahraga,aku selalu menjadi bintang kelas. Kalau diperhatikan,semua orangtua murid pasti sangat memperhatikan pelajaran anaknya. Maggie bahkan les piano,karena katanya ia ingin jadi pianis yang hebat dan berkarisma (muka George seperti monster yang terkena anemia ketika mendengarnya). Aku tidak paham mengapa musik digambarkan dalam bentuk balok dan tauge,tapi Maggie suka sekali.
Meski begitu,nilai pelajaran Maggie lumayan bagus.
Meskipun George terlihat seperti orang yang tampaknya tak punya keahlian lain selain menjahili orang,di luar dugaan ia adalah murid terbaik di kelasnya. Ia pernah menyabet medali perunggu untuk lomba fisika yang dilombakan se-Amerika. George sangat suka fisika,sehingga ia sangat piawai dalam memprediksi seberapa tepat ia dapat mengketapel orang dengan batu jika ia berdiri di sudut mana.
Karena tahun ini kami baru pindah ke sekolah yang lebih dekat sebab sekolah yang dulu sangat jauh dari rumah kami yang sekarang. Jadi,ditahun ketiga sekolah ini,kami pindah ke Hortenz School,dimana sekolah ini terkenal akan pelajaran dan olahraganya yang bagus (kasihan Maggie).
Nah,hari ini hari Minggu,dimana adalah hari terakhir liburan musim panasku dan besok tanggal 1 September  sekolah dimulai,sekaligus hari ini aku ada pelajaran menembak jitu dengan ayahku.
Aku berjalan menuju pekarangan. Disana sudah disediakan sasaran tembak berupa kaleng kecil diatas meja. Sekitar 15 meter di depan sasaran,2 pucuk pistol diletakkan pada sebuah meja kecil. Aku berjalan menghampiri meja itu sambil bergumam menyapa Ayah yang sedang berdiri menungguku.
Menembak adalah salah satu keahlian laki-laki yang diharuskan ayah untuk dikuasai (entah kenapa George dikecualikan dalam hal ini). Entah berapa jam kuhabiskan di pekarangan,lengan terulur sampai ototku sakit,selagi membidik sasaran tembak. Itu kejadian 6 tahun lalu,sekarang sih sudah biasa.
“Nah,”kata ayah berseri-seri.” Berhubung karena hari ini hari terakhir liburanmu,aku akan mengajarimu teknik baru.”
“ Ayah berharap aku menembak orang yang berani macam-macam denganku di sekolah?”candaku.” Teknik baru?”
“Bukan teknik basi menembak lurus yang biasa. Kau sudah menguasai teknik menembak langsung tanpa membidik,bagus itu,” kata Ayah,tampaknya agak tak sabar untuk memulai.” Hari ini kita akan belajar teknik membelokkan peluru.”
“ Membelokkan peluru?” tanyaku heran.” Memangnya bisa?”
Ayah memberiku senyum samar,seolah ia tahu hal yang tak kuketahui.” Kalau kau yang lakukan,pasti bisa.”
Aku baru mau tersenyum ketika kulihat George melintasi pekarangan,melirik kami,mencoba menerka situasi. Kemudian tatapannya berubah menjadi sinis,lalu ia masukke dalam rumah.
Apa-apaan sikapnya itu? Trik apalagi yang ia mainkan?
Ayah menimang kedua pistol.” Baiklah. Tolong panggil---siapa---umm.... pengasuh kita kemari sebentar,Luke.”
Aku masuk ke dalam rumah mencari Candy. Dia sedang berada di ruang tamu,menemani Maggie bermain piano sementara George sedang duduk dilantai menghadap meja utama di tengah ruang tamu,sedang menggambardi selembar kertas yang kelihatannhya mirip perangkap tikus.
“Candy,Ayah memanggilmu.”
Candy berbalik memandangku.” Katie,”katanya mengingatkan.” Kau selalu saja salah menyebut namaku.”
Ayah bahkan tak ingat namamu,pikirku. Tapi aku tak berusaha mengigatkan hal itu padanya.
Aku mengisyaratkan Katie untuk mengikutiku. Katie bangkit dan bergumam pada Maggie,mungkin ia bilang bahwa sebentar lagi ia kembali,lalu mengikutiku ke luar rumah.
“Kamu---uh...masih ingat bantal besar tua yang kusuruh kau simpan di---dimana?”tanya ayah.
Katie memasang raut muka agak jenuh.” Gudang.”
Ayah tampak lega.” Kupikir juga disana! Makasih,siapa---”
“Katie,”kataku membantu.
“Katie,”ayah setuju.
Katie mengangguk lalu pergi. Ayah pergi ke gudang,lalu kembali membawa sebuah bantal usang  yang tinggi dan besar.ayah menarik salah satu kursi santai dan meletakkannya disana,lalu menariknya sedemikian rupa hingga berada di depan sasaran tembak,kira-kira 15 meter darinya sejajar denganku.
“Nah!”kata Ayah semangat.” Lihat ya!”
Ayah mengisyaratkanku untuk menyingkir dan berdiri di samping. Aku menurut,lalu ayah menempati tempatku.
“ayah  mau menembak menembus bantal?”
Ayah tampak agak sebal.” Kau tidak menyimakku ya? Kubilang hari ini aku akan mengajarimu seni membelokkan peluru!”
Aku mengernyit.” Tapi tetap saja mustahil.”
Ayah mengangkat pistolnya.
“Ayah.”
Bahkan tanpa membidik,terlebih dahulu,ayah menembak.
Terdengar suara peluru mengenai sasaran.  Aku berbalik,terkejut,tidak percaya dengan apa yang kulihat.
Peluru tepat sasaran. Tanpa mengenai bantal.
“Bagaimana---“
“itulah yang akan kau pelajari,”katanya tenang.” Sini,berdiri di sini.”
Ayah menyingkir dan aku menempati tempat ayah.
“Ambil sudut yang tepat,pakai nalurimu.”
“Aku bahkan tak bisa melihat sasarannya!”
“Karena itu pakai nalurimu! Tergantung kau mau atau tidak saja.”
Aku berusaha memusatkan seluruh perhatian dan konsentrasiku pada pistol. Rasanya sia-sia saja,bahkan belum tentu aku bisa menembak dengan mata terpejam,apalagi membelokkan peluru. Memangnya aku Aeolus,raja angin?!
Dor. Peluru menembus bantal.
Aku menghela nafas.
“ayah yakin kau pasti bisa,”kata ayah menegarkanku.” Maaf,kau latihan duluan saja ya,ayah ada urusan janji ketemu dengan teman lama dulu.”
Ayah masuk ke dalam rumah.
Aku meletakkan pistol. Rasanya sia-sia. Mana mungkin! Aku tak tau ayah tadi bisa melakukannya,tapi jelas saja mustahil. Logikaku macet.
Kubereskan semuanya dan kembali ke rumah. Terdengar dentingan nada piano yang lembut. Maggie masih main piano.
Hari minggu yang membosankan,tapi sayangnya,Cuma siang ini saja.
                                                            
***